26

3.1K 390 40
                                    

Aku merenggangkan tubuh dengan nikmat selepas tertidur pulas. Benar-benar seperti makhluk tidak tahu diri, karena alih-alih menunggu Arka pulang, aku malah menumpang tidur di apartemennya. Bukan hanya itu saja, aku juga masih sempat menumpang mandi begitu berhasil membuka pintu unit apartemen ini dan mengisi perut dengan dua potong martabak yang kubawa. Ingat, sebelum pergi ke medan perang, pastikan kita sudah dengan perlengkapan utama dan dalam keadaan fit. Maksudku begini, pembicaraan yang akan aku bahas dengan Arka nanti pastilah bukan pembicaraan melepas rindu sepasang kakasih. Kami akan membicarakan sebuah titik persimpangan tentang kejelasan hubungan kami yang kusut tak beraturan. Meski aku yakin Arka dengan mudah mengontrol diri, tapi aku? Aku tidak yakin dengan diriku, aku bisa meledak kalau yang aku dengar tidak seperti yang aku inginkan. Lalu yang akan terjadi Arka dengan tenang dan diam untuk mendengar, sedangkan aku mengoceh habisan-habisan. Kadang aku benci sikap diam dan tenangnya, karena dengan sikapnya itu aku tidak akan tau apa yang dia rencanakan dan pikirkan.

Aku celingak-celinguk mencari remot ac, mendadak gerah karena ruangan terasa lebih panas. Padahal aku ingat betul aku sudah menyetel suhu ruangan dengan kadar favoritku.
Aku bangkit, karena dari tempatku duduk aku bisa melihat benda kecil nan dibutuhkan itu tergeletak diatas pantry. Aku bisa mati dikukus kalau begini.

Melewati pintu kamar Arka, aku terjengkit kaget. Sungguh kaget yang membuat tubuhku tersentak dan jantungku berdetak lebih kencang. Syukurnya aku masih memiliki bekal akhlak yang diajarkan sejak kecil untuk mengucapkan kata Astagfirullah ketika sedang terkejut diantara banyak kosa kata lainnya.  Lelaki itu sudah ada saja didepan pintu.

"Kaget ya?"

Aku heran dengan orang, kadang juga diriku, yang masih saja bertanya untuk konfirmasi sesuatu yang nggak perlu, padahal dia sudah tahu hanya dengan melihatnya. Aku meraih remot ac dan mulai menurunkan suhu ruangan.

"Sampai dari kapan?" tanyaku seraya mengatur nafasku yang sempat memburu. Sisi diriku yang merindukannya, membuat mataku tak tahan untuk melihat Arka lebih cermat. Dia masih sama, masih tampan dalam balutan pakaian apapun itu, seperti biasa. Kalau dulu aku merasa kadang tak berani untuk menatapnya terang-terangan, tapi sekarang mataku ingin terpuaskan, mungkin aku tidak akan punya kesempatan lain lagi nantinya. Padahal mungkin saja nanti aku sendiri yang bersusah melupakan figurnya dalam ingatanku.

"Udah sekitar setengah jam lebih sih aku disini. Baru aja selesai mandi."

Iya aku juga tahu itu tanpa dia bilang. Rambutnya yang basah dengan tubuhnya menguarkan aroma sabun dan shampo aku tahu di barus selesai mandi.

"Kamu kenapa tidur disofa, nggak di kamar aja. " Aku ikut melirik arah pandang Arka pada sofa yang kutiduri tadi. "Nurunin suhu juga sampe segitunya, kamu bisa kena demam kalau saja aku nggak naikin suhu."

"Kamu kasih selimut terus naikin suhu juga? Pantes aja aku bangun-bangun kaya abis direbus." Walaupun terdengar protes, aku tersentuh dengan perhatian kecil Arka. "Yeee.. kalau aku tidur dikamar kamu, yakin aku baik-baik aja?" candaku.

Garis bibir Arka naik seketika. Lelaki itu tersenyum kikuk begitu menyadari apa yang aku sindirkan. Bola matanya yang bergerak tak beraturan, menyimpulkan kalau dia gugup. Entah senang atau bagaimana, aku tidak boleh berharap lebih hanya dengan melihatnya gugup dengan mendengar candaanku tadi.
Masih tidak cukup, jemarinya dengan reflek menyugar rambutnya yang basah, membuatnya berkali lipat lebih tampan. Aku jadi berfikir, apa dia tau rencanaku malam ini, dan berniat mengubah tujuanku dengan menebar lebih banyak pesona.

Aku sadar aku masih sakit hati sejak tempo hari dia meninggalkanku, tapi aku masih ingin menjadi perempuan dewasa yang elegan bercakap padanya. Kami perlu percakapan pembuka sebelum membicaran inti dari pertemuan ini.

Mayday (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang