27

2.6K 351 34
                                    

[Jakarta, 5 tahun kemudian]

Aku mencium pipi mama yang masih sibuk dengan catatan. "Deby berangkat ya ma."

"Mama doakan semoga lancar launching bukunya ya."

"Aamiin ma." Aku beralih pada bude Anggi dan bude Sulis, karyawan mama yang sedang berkutat dengan bahan-bahan kue.
"Aku berangkat bude-bude ku yang cantik, do'ain ya.  Yang rajin kerjanya, biar dapet bonus dari mama," kataku dengan kekehan sembari melambai.

"Bude do'ain pokoknya, sekalian bude do'ain cepet ketemu jodohnya ya mbak Deby."
Melangkah meninggalkan kawasan dapur yang bising, aku masih bisa mendengar sahutan bude Sulis yang mengandung sindiran. Sambutan tawa mama dan bude Anggi semakin membuat kesal saja. Kenapa harus diingatkan juga sih, aku juga  tidak akan lupa kok dengan status lajangku.

Memasuki ruang tengah aku bergidik. Kak Dody dengan istrinya sedang sibuk bercumbu seperti tidak peduli kalau ada orang lain yang mungkin saja menangkap aktivitas mesum mereka.  Mungkin kalau yang menjadi istri kak Dody orang lain, aku akan sungkan dan akan memilih melipir mencari jalan yang lain. Tapi berhubung istrinya adalah Tamara sahabatku yang gila itu rasa sungkan pada seoarang kakak Ipar rasanya tidak cocok untuknya. Iya, Tamara. Kalian pasti juga tidak akan percaya, kan? Sampai sekarang aku juga masih tidak percaya.

"Woy..! Jangan nodai mata gue bisa nggak sih. Maaa... Tamara mulai lagi nih," teriakku mengadu pada mama yang ada di dapur. Pernah sekali kejadian seperti ini tertangkap oleh mataku dan mama. Alhasil Tamara dan kak Dody mendapat ceramah mama. Maksudku, aku tahu mereka sudah sah untuk melakukan apapun berdua. Tapi bisa kan mereka melakukannya di kamar.  Tamara benar-benar pengaruh buruk untuk kak Dody. Entah bagaimana mereka berdua dulu berkomplot menyembunyikan hubungan mereka padaku. Walau begitu aku tetap senang, aku yang selalu berharap kalau Tamara dapat menjadi saudaraku terkabul.

Kak Dody lebih dulu melepas Tamara. Tapi Tamara tak peduli, dan masih nemplok seperti koala.

"Ihhh... kenapa cuma gue yang diaduin ke mama. Kakak lo juga suka kok, iya kan sayang?" Sahabat gilaku beralih pada Kak Dody, tangannya membelai dagu suaminya dengan lemah gemulai. Kenapa aku sekarang makin jijik dengan Tamara ya, dari mana gadis itu belajar seperti itu coba? "Lagian ini kan bawaan bayi, tante Deby. Enak tau tante. Cepetan gih cari suami , lo bakal-" Aku tidak mau mendengar lebih lanjut, jadi aku berlalu dari tempat itu seraya menutup telinga. Pagi ini sepertinya aku tidak beruntung.

....

"Hallo," aku tersenyum pada gadis remaja yang sudah mendapat gilirannya diantara antrian. Wajahnya yang putih pucat tak mampu menyembunyikan rona merah dipipinya.
Seperti yang dijanjikan, pihak penyelenggara launching dari penerbit akan memilih 20 orang yang beruntung untuk mendapatkan privilege bertemu denganku secara pribadi dan merchandise spesial yang telah disiapkan. Mereka yang cukup punya nyali hanya cukup menjawab pertanyaan mengenai perjalanku yang tidak jauh-jauh dari dunia menulis yang diajukan oleh pembawa acara. Didepanku inilah orang-orang beruntung itu, barang kali hanya menyisakan sekitar tujuh orang yang mengantri giliran.

Senyum gadis itu kian berbinar saat menyambut telapak tangganku seraya menggigit bibirnya gugup.

"Kakak cantik sekali."

"Ahhh masaa, kamu lebih cantik lhooooh."

"Nggak, kakak cantik beneran. Masa cantik gini kakak belum nikah juga. Itu tuh-" Ia menunjuk kebelakang, aku mengikuti arah telunjuknya berakhir. "Itu kakak saya kak. Ganteng kok, pasti seru kalau punya ipar penulis, kaya yang dirasain Trisya." Dia menyebut salah satu tokoh dalam novel yang launching kali ini.

Aku tak tahan untuk tidak tertawa, aku menggelangkan kepala berulang kali tak habis pikir. Seandainya masalah menikah bisa selesai dengan asal tunjuk dan berjalan sempurna begitu saja, mungkin aku tak akan melewatkan momen tunjuk itu ketika melihat pangeran Matin yang bersliweran di beranda media sosial.

Mayday (END)Where stories live. Discover now