4. Dia, Deby Anantara

5.3K 536 12
                                    


"Kakak bisa tolong ambilin bunda kopi di rumah Rara!" teriak bundanya bersama suara bising alat masak yang saling beradu.
Meski menggunakan kata tolong, itu bukanlah pertanyaan, melainkan perintah. Arka memutar bola matanya, sadar diri jika dia akan selalu menjadi kandidat utama ketika dimintai bantuan ibunya, diantara dua saudaranya yang lain.

"Kakak lagi periksa bahan buat briefing senin bun."
Arka tak bohong, lelaki itu sedang sibuk di sofa ruang tengah dengan laptop dipangkuannya.

"Lagian kenapa nggak abang aja sih bun, pasti dia molor di atas," Arka berujar lagi ditengah fokusnya pada data yang baru saja dikirim oleh pihak maskapai beberapa waktu yang lalu.

"Abang lagi diskusi kantor sama ayah di belakang kakak, bukan molor. Udah sana berangkat, jalan dua ratus meter nggak sebanding kok sama kamu terbang 35000 feet."
Memang tak sebanding, tapi itu dilakukan dengan cara yang berbeda, tak harus menggunakan tenaga secara fisik. Tapi Arka memilih untuk menurut.
"Lagian kenapa ambil kopinya di rumah Rara bun? Dikira pabrik kopi kali ya," ujarnya terheran.
Arka melepas kaca mata anti radiasi yang dia kenakan setiap mengunakan laptop maupun komputer. Menjaga kesehatan mata itu penting bagi pilot seperti dirinya.

Pria itu mematikan laptopnya dan melangkah ketempat ibunya berada.
Lelaki itu mendapati ibunya sedang beraksi dengan panci, wajan dan spatula. Sebuah alat yang menunjang makanan yang tersaji diatas meja tak kalah rasa dengan restoran bintang lima.

"Itu, mamanya Rara baru aja pulang dari Makassar. Katanya bawa oleh-oleh kopi Toraja dari sana. Makanya bunda minta kamu buat ambil di rumah Rara. Lagian juga nanti kopinya yang ngabisin kamu," Alana berucap seraya menuang sop buntut kedalam mangkuk.

Arka hanya menurut dengan melangkah keluar lewat pintu samping hanya berbalutkan celana sepanjang lutut.

Beberapa menit kemudian Arka kembali masuk kedalam rumah dengan Rara dibelakang.

"Assalamualaikum tante," gadis itu menyapa tepat di ambang pintu penghubung dapur dan ruang tengah.
Rara meletakan kantong plastik di atas meja, tak jauh dari tempat Alana berdiri. Mengatakan kalau didalamnya ada kopi Toraja yang mamanya beli khusus untuk keluarga Arka.
"Bilang sama mama makasih banget dari tente. Pedahal baru aja tante minta Arka buat kerumah kamu. Kalian ketemu dimana?"

"Tadi ketemu didepan situ tante," jawab Rara.

Diruang tengah sudah ada Azka. Tengah duduk bersila dengan sebungkus keripik kentang kemasan di tangan. Sedangkan Arka memilih mendudukan dirinya di sofa single tak jauh dari situ.

"Besok temenin gue sih kelapangan. Ayah minta gue buat ninjau pembangunan perumahan di daerah Depok, nggak lama kok. Mau ya?" Azka memohon pada Arka yang terpejam disandaran sofa.

"Nggak bisa," balasnya dengan posisi yang sama.

"Eh..pak bos juga libur hari ini," Rara berseru ketika mendapati Azka. Wanita itu mencomot keripik kentang dalam gengaman Azka dan mengunyahnya berisik. Gadis itu membanting tubuhnya di sofa sama yang Azka duduki.

"Iyalah, bos mah bebas. Emang lu pada, libur kaya nungguin keajaiban dunia," ejek Azka seraya tertawa.

Rara menggerutu, atas cab buruk yang baru saja Azka lontarkan.

"Eh Ra, lo ikut gue besok yuk?" ajak Azka setelah puas tertawa. Jika dia tidak dapat mengajak Arka, kemungkinan besar Rara lebih gampang untuk dibujuk, itu pikir Azka.

"Jangan mau Ra. Katanya sih bos bebas, tapi dia nggak bakal bisa bebas seenak hati ajak kita. Yah... lo bakalan di ajak ke tempat beraroma semen bercampur keringat para kuli. Dengan pemandangan tlaktor di sana sini. Jadi jangan mau. Lagian besok kita bakal kumpul di resto Teguh," Arka mencegah tipu daya yang sedang Azka usahakan.

Mayday (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang