31

2.8K 432 45
                                    

"Kak, aku nggak ikut kesana deh. Aku titip salam aja ya buat Mbak Rara dan Mas Jonathan," ucapku lirih sambil meringis.

Kak Dody dan Tamara yang satu langkah didepan menatapku bingung.

"Lho kenapa? Ini kita tinggal masuk lho," kata Kak Dody masih bingung.

Tatapanku tak stabil, aku melirik kesana kemari untuk mencari jawaban. "A-aku mendadak pengen aja wisata kuliner disekitar sini. Iya, wisata kuliner," jawabku melantur. Aku benar-benar kehabisan alasan. Jawabanku bahkan terdengar tidak masuk akal untuk diriku sendiri. Aku pikir aku sudah siap jika nantinya harus bertemu keluarga Arka disini. Namun entah kenapa, nyali yang sudah ku siapkan itu seperti hilang dibawa angin begitu melihat rombongan mereka. "Hmm.. Kakak ingat, kan, rumah makan yang jual gudeg yang enak itu? Itu lho yang sering kita kunjungi bareng Mama Papa kalau ke Jogja. Aku pingin aja kesana."

"Ha?" Kak Dody mendekatkan kupingnya padaku, seperti meyakinkan. Apa lagi yang aku harapkan? Tidak mungkin Kak Dody serta merta percaya, tentu saja wajahnya masih menampilkan kebingungan. "Yang Hamil Tamara, kenapa malah kamu yang ngidam?"

Tamara justru terkekeh, ia menarik kembali lengan Kak Dody dan membisikan sesuatu padanya. Terlihat dahi Kak Dody mengkerut. Aku tidak tahu apa yang di bisikan Tamara, tapi yang pasti tatapan menggoda di diringi senyum mengejek dilayangkan padaku oleh Kak Dody setelahnya.  Sedetik berselang Kak Dody tergelak. Tentu saja, mata Tamara yang sedari tadi mengitari tempat ini dengan terkagum-kagum, sangat mudah menemukan rombongan keluarga Arka.

Kak Dody menepuk pundakku. "Itu udah jadi masa lalu, nggak usah dipikirin. Mereka belum tentu ngenalin kamu, kan?" kata Kak Dody dengan nada menggoda, yang kontan saja membuat bola mataku berotasi. Aku juga berharap begitu, tapi pertemuanku dengan Andara dan Azka di acara bedah buku waktu itu, membuktikan kalau mereka sudah mengenalku, kan? Apa lagi mengingat gestur dan cara Andara menatapku yang sedemikian akrab.  Ditambah lagi bingkisan titipan bunda Arka yang diberikan padaku melalui Andara. Bukankah artinya hampir semua keluarga Arka mengenali aku? Mendadak kepalaku pusing.

"Lagian kemarin-kemarin waktu masih bareng, pengin ketemu, kan?  Nggak pernah dikenalin sama keluarga Arka, mikirmya nggak di anggap. Tuh, sekarang udah didepan mata, kenapa malah jiper?"

Salahkan mulut Tamara yang seperti keran bocor. Aku yakin, baginya sangat menyenangkan menceritakan kembali curahatanku sebagai dongeng sebelum tidur untuk suaminya. Dia lupa, suaminya itu kakakku, sekaligus teman Arka!

Mereka tidak akan mengerti! Aku melangkah melewati mereka, masa bodo dengan rasa gugup tadi. Aku kadung sebal dan kesal dengan mereka berdua yang kompak mengejek.

"Nanti kalo memang udah mulai nggak nyaman disini, kita bentaran aja. Setelah selesai ijab qobul, langsung salaman aja, terus pulang. Nanti kamu pingsan lagi karena gugup," kata Kak Dody terdengar lebih serius setelah mereka menyusulku duduk dikursi dekat meja bundar.

Tamara mencolekku, aku meliriknya malas. "Ingat By, ma-sa-la-lu," katanya pelan, tapi aku bisa mendengarnya karena dia disampingku.

Ijab qobul sudah selesai sejak sepuluh menit yang lalu, dan aku masih duduk dikursi yang sama sambil menggulir layar ponsel yang sebentar lagi mungkin akan tergores dalam saking seringnya aku mengusapnya bolak-balik.

Kita memang tidak boleh mempercayai kata-kata orang begitu saja. Dan itu yang harus aku ingat sepanjang hayat, sekalipun kata-kata itu dari kakak kita sendiri. Kak Dody seperti melupakan janjinya untuk segera bersalaman memberikan selamat sekaligus pamit pada pengantin, begitu prosesi ijab qobul selesai. Sekarang ia justru sibuk menemani Tamara yang hamil besar mencicipi setiap stand makanan yang disiapkan disini. Bagi Tamara pasti merugi pulang dari pesta tanpa mencicip satu dua makanannya, aku kenal betul anak satu itu.

Mayday (END)Where stories live. Discover now