14

3.5K 423 11
                                    

Setelah berlari mengelilingi komplek rumahnya dengan perut kosong, Deby mampir di salah satu gerobak bubur ayam di ujung jalan kompleks. Tentu saja masih dengan lelaki yang sama, yang membuatnya beranjak  dari sarang dan merasakan dingin udara pagi.
Bahkan tak terasa, ia sudah duduk di depan gerobak bubur itu cukup lama. Bukan untuk menambah porsi makannya, melainkan berbagi kata dengan tukang bubur yang menurutnya humoris. Satu jam lamanya ia berbincang dengan tukang bubur itu. Perut dan pipinya sedikit pegal karena terlalu sering tertawa saat kalimat humoris dilayangkan oleh sang tukang bubur itu.

Diperjalanan pulang ia bahkan masih mengingat penggal cerita lucu yang tukang bubur itu bagi, yang mau tak mau membuatnya tersenyum tanpa sadar. Disela langkahnya, Deby melirik lelaki disampingnya yang hampir saja ia lupakan karena saking asik dengan tukang bubur itu tadi.

"Kemana si beo? Kok diem aja kaya orang puasa." Pada akhirnya Deby menegur.

"Asumsi orang-orang selama ini nggak salah, kalau cowok itu serba salah. Cowok perhatian dibilang lebay, cowok kasih nasehat ini itu dibilang cerewet, dipuji bilangnya gombal, bahkan diem pun juga ditanya kenapa? Ya jelaslah aku nggak mau mancing emosi monster bulanan kamu itu."

"Aku nanya waktu di gerobak bubur tadi, bukan sekarang. Kenapa diem-diem aja? nggak enak tau sama tukang buburnya. Dikira kamu itu risih lagi makan ditempat kaya gitu."

"Ya aku cuma nggak mau kehilangan momen kamu ketawa aja. Kalau aku ikut nimbrung ombrolan kalian tadi, yakin? kamu bakal terus ketawa lebar tanpa dosa kaya gitu? Nggak kan? Aku juga yakin, kamu bahkan lupa kalau disitu ada aku."

"Maksud kamu aku bakal jaim kalau inget ada kamu disitu? Dasar, anda kelewat percaya diri."

Arka tersenyum simpul, ia memang paling suka menggoda Deby. Meski respon gadis itu selalu sarkastik, tetap saja Deby adalah perempuan. Ia akan merasakan desiran panas yang menjalar di pipi. Seolah seluruh darah yang dipompa jantung hanya akan berakhir dan terkumpul di pipi. Dan Arka selalu melihat itu.

"By the way, tembakan botol kamu lumayan juga, nyerinya masih kerasa nih," ujarnya seraya mengusap kepala belakang lengkap dengan cengiran khas.
Dan Deby harus menerima kenyataan kalau Arka sedang berusaha menyinggung kejadian antara dirinya dengan botol sial bin laknat itu.
Tapi Deby tak kehabisan cara untuk mengindar dengan pura-pura budeg dan mempercepat langkahnya. Dalam hati ia merutuki diri, kenapa ia bersikap asal tanpa berfikir panjang waktu itu.

Arka melangkahkan kakinya lebih lebar sampai kembali bersisian dengan Deby. Ia tak mau membahas botol itu lebih lama, karena mungkin bisa saja Deby bukan akan bersikap malu blushing, tapi malah menyiapkan kuda-kuda untuk menyerangnya.
"Lagi balas chat siapa?" tanyanya saat dua jempol gadis itu asik menari dilayar ponsel yang sedang digenggamnya.

"Editorku tanya, aku udah punya naskah baru atau belum."

"Terus?"

"Untuk lima bulan kedepan kayaknya belum. Nggak pasti juga sih, soalnya kaya gini nggak bisa diprediksi, dan itu semua kembali ke aku. Gimana aku nanti bisa produktif tiap hari atau enggak, terus juga ngimbangin kalau mungkin Tamara butuh aku untuk project  kerjanya. Yah pokoknya banyak deh." Deby memang sedang banyak tawaran, belum lagi dua minggu kedepan ia akan ke Bukit Tinggi untuk projeck kerjanya bersama Tamara. Ia juga masih memikirkan tawaran produser program acara yang sedang digarapnya Tamara yang menawarkan Deby untuk menjadi salah satu dari tiga host pengisi program acara tersebut. Karena model yang biasa bergabung di acara tersebut sudah habis masa kontraknya dan pindah ke acara stasiun tv lain.

Kalau dipikir, sebenarnya itu batu loncatan yang kuat untuk melangkah lebih jauh sebagai penulis. Karena jika namanya sudah bisa dikenal banyak orang, bahkan termasuk orang-orang yang anti literasi, maka bagus juga untuk namanya sebagai penulis. Tapi tetap saja, biasa bekerja dibelakang layar lalu pindah didepan layar akan membuatnya susah membaur. Dan lagi pula itu juga tidak akan menjamin jika ia akan tetap jadi penulis, saat mungkin saja ia akan merasa dunia televisi lebih menarik untuknya. Memikirkan namanya lepas dari cover buku novel adalah hal terakhir yang ia harapkan. Ia sangat mencintai menulis, dan berjanji tetap akan seperti itu.

Mayday (END)Where stories live. Discover now