15

3.6K 415 13
                                    

Hari ini sudah menjadi hari kedua Tamara dan Deby di Bukittinggi. Perkiraan mereka kembali ke Jakarta sekitar lusa. Kali ini tim mereka syuting hanya sekitaran kota saja, jadi tak memerlukan tenaga berlebih untuk bawa barang naik gunung atau menyebrang lautan seperti biasa.
Acara yang mereka garap memang tentang petualangan, tapi tak semua petualangan harus melulu tentang laut, hutan, atau bukit-bukit. Kota juga bisa menjadi tempat petualang yang tak kalah menarik.
Kalau di daerah seperti ini biasanya tim akan syuting ditempat bersejarah atau kalau tidak wisata kuliner. Ada keuntungan tersendiri memang untuk timnya selama ini.

" Iya, gue tau muka gue bikin lo eneg. Tapi jangan cuekin gue dong. Ngapain lo pantengin HP mulu?" tanya Tamara saat mereka sama-sama sedang makan di rumah makan. Tim mereka juga makan di rumah makan itu, hanya saja mereka beda meja saja. Menurut berita bang Aden, salah satu tim paling up-to-date soal perut, makanan disinilah yang paling populer karena selain enak, harganya juga bikin kantong mesam-mesem kegirangan saking murahnya untuk ukuran makanan seenak itu. Tim mereka memang menjunjung tinggi  pengeluaran sekecil-kecilnya lalu pemasukan sebesar-besarnya.

"Lagi liat Sehun yang gantengnya gak ketulungan," balasnya asal. Tamara terkikik mendengarnya, ia tahu kalau Deby paling anti dengan boyband-boyband Korea, tapi karena Tamara merupakan fans fanatik salah satu boyband Korea, mau tak mau Deby ikut terkontaminasi juga. Bahkan gadis itu mulai hafal nama member-member kesayangan sahabatnya.

"Lo tau aja sih kebiasaan gue," timpalnya seraya cengingisan.

Tamara melirik layar ponsel Deby, sedikit banyak ia tahu kenapa sahabatnya sedikit ngedumel begitu membuka layar ponsel.

"Ceklis satu tuh. Nggak coba telepon seluler biasa aja?" ujarnya saat melihat salah satu pesan Deby tercetak satu centang abu-abu. Tamara kemudian menyeruput es jeruk seraya menatap air muka sahabatnya yang kian tak peduli dengan ponselnya.

"Waktu gue nggak pegang HP, dia telpon dan chat berkali-kali, sampe notif HP gue penuh. Giliran dibales, orangnya gak tau kemana."

"Ya elah, baru aja masalah chat nggak dibales udah kaya peristiwa turun ranjang aja. Lagi flight kali dia."

"Mungkin. Udahlah gue juga nggak peduli."

"Jangan judes-judes amat sih sama Arka. Lo tuh selalu mikirin yang enggak-enggak deh sama dia. Harusnya lo tuh seneng, artinya Arka itu peduli sama lo. Yeah, emang cowok tuh cara pikirnya beda kaya kita. Walaupun gue juga kurang ngerti sih pemikiran mereka."

"Kenapa lo malah masuk kubunya dia, bukannya gue sahabat lo?"

Tamara dengan santai hanya cengingisan. "Gue yakin lo bakal dapat caranya sendiri buat gimana nanti numbuhin perasaan lo itu." tutupnya. Deby sudah pernah bercerita tentang kisahnya bersama Arka, mulai bagaimana pertemuan mereka yang kelewat kebetulan, sampai sepakat memulai relationship. Jadi tak heran kalau kata-kata itu keluar dari mulutnya. Memulai hubungan tanpa landasan apa-apa memang agak sulit.

"By, kalo lo nggak mau berdiri di tempat spesial yang disediakan Arka buat lo, gue siap kok gantiin. Secara Arka tuh masuk dalam best quality dalam pasaran sekarang. Ibaratnya nih, gue siap nampung muntahan lo, kalo yang lo muntahin tuh berlian kaya Arka." Tamara memang orang yang punya mulut paling ringan. Bisa-bisanya ia mengatakan soal muntahan dirumah makan, seakan yang ia ucap hal yang tepat dibicaran di tempat seperti itu.

Semenjak dua minggu lalu Tamara mengenal Arka secara fisik dengan mata kepala sendiri. Gadis itu jadi suka mengatakan tentang keberuntungan Deby yang bisa mendapatnya barang limited seperti Arka. Seolah malah Deby lah yang kurang pantas untuk Arka.

"Gue mulai merasakan hawa-hawa tikungan tajam nih Ra," sindirnya penuh arti.

Tawa Tamara pecah juga, menggoda Deby memang paling menyenangkan untuknya.

Mayday (END)Where stories live. Discover now