prolog

16.9K 695 7
                                    


Berakhir di antara tumpukan pasir pantai menurutku tak terlalu buruk. Setelah belasan jam terbang di atas cakrawala, menghirup aroma laut yang menenangkan juga tak terlalu buruk.

Banyak orang yang selalu singgah sesaat di tempat ini. Ketika matahari telah tergelincir di ujung horizon, menatap terpana bersama dengan orang yang katanya pujaan hati. Menurut mereka itu indah, dan aku yakin para pecinta sastra roman juga percaya akan itu. Bukankah senja akan selalu berhubungan dengan perasaan romantisme untuk sebagian orang, tentu saja tidak dengan aku.
Lalu setelah matahari tenggelam, apa yang akan mereka lakukan? Tentu saja mengangkat kaki dari sini, memang untuk apa lagi? Mereka akan memilih pergi mencari cahaya pengganti sebelum esoknya bertemu kembali.

Sendirian di kegelapan yang mulai menyelimuti seperti ini tidak terlalu buruk, selama langit masih menampakan warna birunya, jadi itu bukan masalah. Aku berada di sebagian kecil orang atau mungkin setitik orang yang menyukai kegelapan di antara langit yang masih biru, meski raja cahaya tak lagi duduk di singgasananya.
Menurut mereka si pecinta roman, setelah pendaran cahaya keemasan lenyap di horizon, maka tak ada pula suatu hal indah di dalamnya selain warna hitam yang mengerikan.
Mereka salah, mereka belum tau saja kalau sebenarnya masih ada keindahan yang dapat dipuja setelah perpisahan dengan sang Surya. Seperti saat ini misalnya.  Pemandangan lautan yang mulai dimakan kegelapan, menjadikan perahu-perahu yang mengapung di atasnya hanya sebentuk siluet hitam. Juga semua orang yang mulai melangkah pergi dari bibir pantai yang dari kejauhan sama seperti titik-titik tinta hitam di atas kanvas abu-abu yang berhamburan.

Mereka belum tau, bagaimana sensasi duduk di karpet pasir, lengkap dengan selimut cakrawala biru yang sebagian termakan malam. Bagaimana bulan mengambil alih langit di atas sana. Bagaimana ia seolah berjuang mendapatkan cahaya seiring matahari dan kegelapan pergi dan datang secara bersamaan. Mereka saja yang belum tau rasanya jadi aku.

Sampai arah pandangku menemukan pada titik hitam di sana, jauh tapi terlihat dekat memang, tapi itu cukup membuatku untuk tak peduli. Titik hitam yang bersiluet sama seperti diriku.
Memang tak salah jika melihat ada banyak gerai kopi yang di bangun di sisi setiap pantai. 'Demi menarik pelanggan apapun akan dilakukan seorang pebisnis' itu kata adikku, merasa terhakimi kala aku berkomentar perihal bisnis yang menjadi dunianya. Sama seperti katanya semua akan di lakukan, seperti pebisnis yang membangun starbucks kelas atas di atas tebing pantai disana, di tempat siluet orang itu berada.

Siluet yang entah kenapa aku merasa ia sedang terpejam menengadah langit dengan airphone tersumpal di kepala. Seakan menikmati moment yang takut ia lewatkan. Terpejam dan tersenyum, menyelami jutaan pikiran indah dengan musik favorit yang di mainkan di telinga sebagai iramanya, sekejap aku merasa tergoda. Tergoda melakukan hal yang sama seperti biasa aku lakukan ketika gundah datang pada rutinitas yang menjadi duniaku. Mencari tempat paling damai dan melakukan ritual itu.

Tanpa sadar aku ikut terpejam, menyelami jutaan pikiran dan perasaan. Menggunakan deburan ombak sebagai latar musik alam, membuatku nyaman sampai terpejam dalam kurungan waktu.
Untuk pertama kalinya aku merasa menemukan orang yang sama sepertiku di titik ini. Tapi aku juga tak suka itu, terasa terjajah sendiri dengan apa yang selama ini ku kira hanya aku yang bisa dan miliki. Namun tidak, siluet itu melakukan apa yang selalu aku lakukan. Dan jujur, sekali lagi aku tak suka itu.

Aku membuka mata, menemukan gelap setelahnya. Langit biru yang hilang, dengan bulan dan bintang yang telah menemukan cahayanya pula. Tinggal aku disini, di temani cahaya lampu pantai yang di pasang hanya dua tiang yang saling berjauhan.

Siluet orang itu tak lagi ada setelah tatapanku mengarah tempatnya tadi. Seolah ikut hilang membaur dengan gelap karena malam mengurainya. Aku harap hanya satu orang itu sajalah yang memiliki apa yang aku cap milikku, meski hanya sebentuk ritual kecil tanpa arti. Tapi aku merasa itu tetap milikku seorang, hanya boleh aku tidak orang lain selain dia.

Mungkin ini bentuk pengusiran alam padaku saat kulitku menemukan titik kedinginan. Dan aku memilih mengikuti bisikan hati, untuk tak membuang masa demi hal klise tentang kesehatan. Kupakai sepatu yang sedari tadi teronggok di atas pasir, dan beranjak memenuhi panggilan alam yang mempropaganda untuk tak berteman dengan kesunyian.

Mayday (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora