17

3.1K 404 25
                                    

Deby membuka kelopak matanya pelan, menatap perlahan sekelilingnya. Aroma citrus menguar dari jaket yang entah kapan menyelimuti lelapnya tanpa sadar.  Gadis itu tertidur di bangku rumah sakit itu, terakhir yang ia ingat adalah obrolan ringan dengan Arka. Ahh, ia melupakan sosok itu. Mata gelapnya menerobos setiap sudut yang dapat dijangkau penglihatan. Nihil, ia tak menemukan, hanya jaket Arka yang tersisa. 

Ia merogoh ponsel dalam kantungnya, menatap lamat-lamat keterangan waktu didalamnya. Pukul sepuluh lewat, artinya ia tertidur selama kurang lebih satu jam. Dan itu sudah cukup menjadi alasan kepergian Arka disisinya.

Deby meringis pelan ketika rasa perih di lambungnya kini mulai terasa. Tamara benar, maag-nya pasti akan kambuh mengingat ia telah melewatkan makan siang sekaligus makan malamnya. Gadis itu kemudian mulai melipat jaket Arka rapih, dan bangkit memasuki kamar inap ayahnya.

"Mama pasti capek, gantian Deby ya yang jaga papa?" tawarnya saat melihat ibunya masih terjaga.

Renata menggeleng kuat. "Mama nggak papa kok. Gimana kalau kamu yang pulang? Sampai rumah kamu istirahat," pintanya.

Sama keras kepalanya dengan sang ibu, Deby menggeleng kuat. Ia menatap ayahnya yang terpejam, kerutan di kening sang ayah cukup membuktikan rasa sakit yang dirasa, meski dengan lelap yang sudah merenggut kesadaran.

Deby keluar dari kamar inap ayahnya, menemukan tubuh Arka yang sudah duduk ditempat yang sama dimana ia terlelap. Perlahan ia melangkah menghampiri laki-laki itu, duduk disisinya dengan sorot mata yang redup.
Arka tersenyum, mengangkat kantong berisi kotak sterofom. Entah apa yang dibawa lelaki itu.

"Tadi aku ketemu Tamara di parkiran. Katanya kamu belum makan, jadi aku cari bubur buat kamu."

Deby tersenyum, ia menerima bungkusan yang Arka ulurkan.

Arka bukan orang yang pandai menghibur, tidak seperti Jonathan ataupun Teguh. Untuk suatu titik ia merasa dirinya tak berguna, ia merasa bukan jadi lelaki yang terbaik untuk Deby. Bahkan tidak bisa menjadi sandaran untuknya. Semua sudah terbukti, ia tidak jadi prioritas bagi Deby berkeluh, untuk tau kabar ini ia harus tau dari orang lain. Bukan dari kekasihnya. Seburuk itu kah untuk dirinya jadi lelaki pertama yang tau tentang gadis itu? Ya, Arka se-egois itu jika perihal yang ia sayangi.

Setelah Arka membujuk Deby untuk makan, mereka berjalan beriringan keluar rumah sakit. Mencari udara segar diluar mungkin akan menjernihkan kepala mereka masing-masing. Sama seperti tadi, Deby lebih banyak diam. Jika Arka bisa memilih, ia tak ingin melihat gadis dihadapannya seperti ini.

"Kenapa kamu nggak kabarin aku?" Arka bertanya usai mereka duduk dikursi kayu diluar rumah sakit.

"Apa perlu? Kamu sibuk, Ka."

"Sibuk bukan berarti aku nggak boleh tau tentang kamu, By. Aku kerja nggak dua puluh empat jam, aku ingatkan."

"Kenapa kamu suka membesarkan masalah sih, Ka?"

Ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara perihal hubungan mereka. Tapi ego Arka mulai terpancing dengan asumsi-asumsi yang butuh jawaban.

"Aku nggak tau kita ini apa. Kita ini ngapain selama ini. Aku juga nggak tau apa yang kamu pikirkan tentang aku. Kenapa aku merasa ditempatkan disisi yang gak berarti."

Deby menatap Arka tak percaya. "Karena aku nggak ngabarin kamu? Disaat seperti ini kamu bahas tentang itu?" Deby tak habis pikir, ia menggelengkan kepala. "Aku nggak kabarin kamu karena aku menghargai pekerjaan kamu."

"Kenapa? Apa karena sudah ada orang lain? Radja Radja itu misalnya."

Deby menggeram marah. Sekali lagi ia tak bisa berfikir apa yang ada dikepala Arka. "Kenapa kamu bawa-bawa Radja. Aku dirumah Tamara saat mama telpon, cuma Radja yang bisa bantu bawa aku kesini secepat mungkin. Apa kamu tau, aku capek main-main gini. Aku kira disini aku childies, tapi ternyata kamu bahkan lebih kekanakan dari pada aku."

Deby berdiri, bahkan diluar terasa lebih sesak ketimbang didalam. Deby menengadahkan kepala, berusaha menahan laju air matanya yang telah terkumpul dalam kelopak mata. Segala Emosi yang ia tahan mencuat bersamaan dengan air mata.

"Kamu mau tau, kenapa aku bisa bilang begitu? Kenapa aku bisa berfikir seperti itu?" Arka menatap punggung Deby yang membelakanginya. "Karena cuma aku yang merasa terlibat dalam hubungan ini. Cuma aku yang berusaha mengenal kamu, tanpa sebaliknya. Sama halnya game, kita akan game over kalau cuma aku yang bermain."

Ya, dinding pertahanan Deby runtuh. Matanya berhasil meluruhkan air mata yang ia tangkarkan sedari tadi. "Ya udah kita buat game over sekarang. Kita akhiri semua sebelum aku makin gila. Kamu yang mulai dan aku yang mengakhiri, sepadan bukan?"   Deby berhasil menekan tombol ledakan. "Jangan pernah muncul dihadapanku lagi."

Deby berlalu tanpa menengok kebelakang. Ia kira Arka dapat mengerti posisinya, tapi ternyata tidak. Deby kira ia akan menumpahkan beban yang tak bisa ia tuangkan didepan ibunya kepada Arka. Tapi yang terjadi Arka malah memilih untuk berdebat, dan membuatnya menarik urat leher keras-keras.

Arka menyusul langkah Deby dibelakang. Ia melangkah lebar-lebar sampai kemudian ia dapat mencekal lengan gadis itu. "Maaf, harusnya aku nggak bilang hal ini diwaktu dan tempat seperti ini." See, kenapa tidak dari tadi laki-laki itu berfikir seperti. "Aku merasa nggak berguna untuk kamu."

Deby menyeka air matanya. "Tapi itu nggak membenarkan apa yang kamu lakukan, Ka."

Arka memutar tubuh Deby, mentautkan tangannya di kedua bahu gadis itu. "Iya aku tau. Aku kalut, kamu kalut, kita nggak akan selesai dengan kaya gini. Sementara aku pulang, besok pagi aku kesini lagi. Aku sayang sama kamu By. Aku cuma ingin kamu anggap aku ada, kasih tau aku kalau kamu butuh aku."

Deby mengangguk.
Usapan ringan dilengannya sedikit banyak membuat ia lebih tenang. Benar, mereka tak seharusnya berakhir seperti ini. Terbilang singkat untuk diakhiri. Ini harusnya menjadi waktu dimana mereka harus  saling mengenal lebih dalam.

Deby mendongak menatap Arka.
"Aku yakin papa kamu akan baik-baik aja. "

Tbc
Dikit banget wkwkwk. Pasti kerasa wkwkwk

Mayday (END)Where stories live. Discover now