Epilogue

21.1K 1.8K 88
                                    

BRUKH!

Arabella mengerang. Matanya memerah menahan sakit yang mendera tubuhnya saat Alec menghempas tubuhnya kuat menubruk dinding. Tulang punggungnya terasa nyeri sekali.

Arabella menatap Alec yang berjalan mendekatinya dengan mata berkilat merah.

"Alec," panggil Arabella.

Alec tidak menjawab. Pemuda itu langsung mencengkeram leher Arabella hendak kembali menyiksanya.

"Bedebah sialan!"

Bugh!

Baru saja ingin kembali menyerang, tubuh Alec sudah terlebih dahulu ditarik ke belakang. Seseorang meninjunya dengan kuat hingga membuat pemuda itu sejenak tak mampu berbuat apa-apa.

Tapi itu tidak berlangsung lama. Alec langsung menyerang kembali. Membuat tubuh adiknya itu menubruk dinding dan mengerang.

"Eliana!"

Tak lama, sosok gadis datang dengan berlari. Eliana tampak terkejut bukan main. "Astaga!"

Alec yang melihat kedatangan Eliana kini beralih pada gadis itu. Namun baru hendak menyerang bahunya sudah terlebih dahulu ditarik hingga ia menghadap kebelakang.

"Alec." Suara Zack terdengar begitu tegas. Sejenak manik Raja Penyihir itu berkilat merah sebelum kembali pada manik hitamnya.

Alec membelalak. Ia memegangi kepalanya saat iris merahnya sirna dan manik biru cerahnya kembali.

"Kau apakan istriku, heh?" Zack menatap Alec tajam.

Eliana meringis. Ia menghampiri saudara kembarnya, Eliano, yang menatap kesal Alec dalam kondisi terduduk dan kesakitan. "Entah kenapa ayah berbicara seolah kita bukan anaknya."

Eliano hanya mendengus menanggapi.

Alec tampak kebingungan ia menatap Zack sejenak sebelum menoleh pada Arabella di sudut ruangan. Mata pemuda itu membelalak.

"Ibu!" Alec segera menghampiri Arabella yang terduduk. "Maafkan aku. Apa-"

"Kau pergilah." Zack melangkah mendekati Arabella dan Alec. "Minta maaf pada adikmu."

Zack meraih tubuh Arabella. Membopongnya sebelum menghilang dari hadapan ketiga anaknya.

"Apa tadi mata ayah berwarna merah?" Eliano mengernyit.

Eliana mengerang. "Hentikan itu."

Eliano melempar tatapan bertanya pada adik kembarnya yang tampak memukul-mukul kepalanya. "Hentikan apa?"

"Otakku selalu berpikiran kotor setiap melihat ayah dan ibu pergi dalam kondisi iris mata berwarna merah!" keluh Eliana.

"Mungkin itu hanya karena kau suka berpikiran mesum," cibir Eliano.

"Aku tidak seperti itu!" Eliana melotot. "Aku bisa berpikir seperti itu karena aku sendiri pernah tanpa sengaja memergokinya." Eliana mengerang. Lagi-lagi ia memukul kepalanya. "Andai dulu aku tidak terlalu polos untuk ingin tahu kenapa ayah dan ibu selalu menghilang dan muncul di kamar saat sisi gelap keduanya sedang keluar," sungutnya lagi.

Eliano terkekeh. "Tapi mata ibu sepertinya tidak merah." Ia kembali menatap Alec. "Hei! Ayah menyuruhmu untuk meminta maaf padaku!"

Alec tidak menjawab. Melirikpun tidak. Ia hanya bergeming di tempatnya sebelum kemudian menghilang dari sana.

"Aku tak pernah bersyukur memiliki saudara sepertinya," gerutu Eliano.

"Aku juga," Eliana mencibir.
"Ataupun memiliki kembaran semacam kau," timpal Eliana.

Pathetic Destiny  [Completed]Where stories live. Discover now