Eternal

12.7K 2K 52
                                    

Arabella mengeluh dalam tidurnya. Matanya membuka saat merasa ada yang aneh. Selimutnya ia sibakkan lalu beranjak duduk di atas ranjang.

Matanya tak sengaja melirik ke jendela kamar dan melihat matahari yang mulai menampakkan dirinya.

Namun bukan itu yang mengusik tidurnya. Melainkan sosok penyihir bernetra hijau yang sudah berdiri tak jauh di depannya.

Arabella sontak berdiri. Matanya menatap tajam Allura yang kini tengah menyeringai.

"Apa yang mau kau lakukan?!" Emosi Arabella seketika tersulut.

Namun Allura hanya tertawa pelan.
"Aku hanya ingin bicara."

Arabella menatap tajam seringaian Allura di depannya.

"Terima kasih sudah menjadi senjataku selama lebih dari sepuluh tahun."

Arabella menggeram. Ia kemudian teringat perkataan Zack. Penyihir itu bilang, panggil saja namanya saat Allura datang.

"Za--"

"Hentikan!" Allura mengangkat sebelah telapak tangannya.

"Aku bilang aku hanya ingin bicara. Tidak ada sihir, tidak ada bermain fisik."

Arabella kembali diam. Mencoba menuruti perkataan wanita itu untuk sekali ini saja. Walau demikian, Arabella masih bersikap waspada dan menatap Allura dengan tajam.

"Mungkin ini menyakitkan. Tapi... apa kau tidak ingin mati?" Allura menyeringai.

"Kematianmu menguntungkan semua orang termasuk Zack, adikku."

"Berhenti membual." Arabella menyanggah cepat ucapan Allura.

Namun wanita bernetra hijau itu hanya terkekeh sinis.

"Aku sudah bilang padamu, 'kan, bahwa tak ada yang peduli padamu. Termasuk Zack. Oh, aku bukan penyihir yang suka membual hanya demi menyulut emosi seseorang, Arabella."

Arabella masih memincing curiga. Tidak percaya sama sekali pada ucapan Allura. Tidak sampai sebuah kalimat yang membuat kepercayaannya goyah meluncur dari mulut wanita itu.

"Kecuali, ya... dia peduli karena menginginkan keabadian dalam dirimu." Allura mengendikkan bahunya.

Arabella mematung. Ia sama sekali tidak mengerti perkataan Allura. Namun entah mengapa Allura tak tampak seperti berbohong. Dan hal itu sukses membuat Arabella bimbang.

"Seperti yang kukatakan. Sihirmu masih terbelenggu. Dan karena kau sudah berumur delapan belas tahun, sudah saatnya Zack membuka belenggu itu lalu menyerap habis sihirmu. Memang itu rencananya sejak dulu." Allura kembali menyeringai.

"Aku memang menginginkan sihirmu. Tapi tentu saja aku lebih menghargai adikku yang sudah mendekatimu lebih dari sepuluh tahun hanya demi itu." Allura menikmati raut pucat Arabella. Tentu dia tahu apa yang mengganggu pikirannya.

"Sayang sekali kalau kau berfikir Zack benar-benar peduli padamu. Sekarang apa kau sadar tak ada yang benar-benar peduli putri terkutuk seperti dirimu itu?" Allura kembali terkekeh pelan.

Arabella masih diam, tangannya mengepal. Benci pada sosok penyihir hijau di hadapannya. Namun juga merasa benci pada sesuatu yang lain, yang Arabella sendiri tidak tahu apa itu.

"Karena itu, kalau kau mati, mereka senang, Zack mendapat keuntungan sementara rakyatmu kehilangan sosok pembawa sial."

"Tutup mulutmu." Arabella menggeram. Sudah cukup muak dengan setiap kalimat yang terlontar dari mulut Allura.

Tetapi Allura tidak peduli.

"Aku cukup mengenal adikku untuk tahu dia tak mungkin melakukan hal semacam itu tanpa maksud tertentu." Ia berkata dengan santai namun tajam.

Pathetic Destiny  [Completed]Where stories live. Discover now