Anxiety

13K 1.7K 37
                                    

"Belum tidur?" Zack mengernyitkan dahinya melihat Arabella yang terduduk di kepala ranjang dengan tatapan kosong lurus ke depan.

Beberapa menit yang lalu, Zack sudah menyuruh Viana untuk meninggalkan Arabella. Tanpa membantah sama sekali, Viana melakukan perintah Zack karena rajanya itu yang berkata akan langsung mendatangi Arabella.

Zack menghampiri Arabella. Sudah selarut ini dan Arabella belum tidur juga? Bahkan Zack sampai harus membangunkan Viana saat mengirim perintah pada istri Bek itu untuk pulang.

Zack duduk di hadapan Arabella membuatnya mengerjap tersadar saat ranjang yang ia duduki terguncang.

Zack menatap Arabella lekat-lekat. Mencari sesuatu yang aneh dari wanitanya itu. Wajah yang tampak sedikit lebih pucat dari biasanya, bibir yang biasanya merah ranum itu kini putih pucat, dan tatapannya begitu sayu.

Arabella masih belum mengenali Zack. Tidak sampai penyihir itu memeluknya erat memberi kehangatan dan Arabella akan langsung tersenyum menawan.

"Hai, Zack."

"Hai," lirih Zack. Masih dengan memeluk Arabella, Zack mengusap pipi perempuan itu yang terasa dingin di kulit tangannya.

Zack mengernyit. Ia segera berpindah menuju kamarnya sendiri, di atas ranjang. Hampir tidak ada perubahan sama sekali pada teleportasinya kali ini.

Arabella mendongakkan kepalanya, membuat wajahnya dan Zack berhadapan langsung. Tatapan Arabella sangat lesu, dan jika diperhatikan lebih seksama, mata perempuan itu sedikit memerah.

"Sakit." Arabella meremas perutnya. Rahangnya mengeras menunjukkan seperti apa rasa sakit yang ia rasakan pada Zack.

Zack yang mendengar pernyataan Arabella melebarkan matanya cemas. Tangannya mengusap rambut Arabella berusaha menenangkan.

Zack baru saja ingin memeriksa keadaan Arabella jika saja tubuh perempuan itu tidak ambruk seketika. Tubuhnya melemas jatuh dalam pelukan Zack.

"Arabella." Zack menepuk wajah Arabella cemas. Mata perempuan itu tertutup rapat dengan sudut bibir mengeluarkan darah.

Zack menyentuh dahi Arabella. Berusaha membawa pikirannya pada situasi yang tengah Arabella hadapi. Namun sihirnya tak mampu menembus pikiran perempuan itu.

Zack mengerang frustasi. "Ayolah, Arabella! Jangan lagi!"

Zack tak ingin menyerah. Ia semakin kuat mengerahkan sihirnya hanya untuk mengetahui ada apa dengan Arabella agar Zack bisa mengobatinya.

Zack membuka matanya saat tiba-tiba Arabella terbatuk darah. Perempuan itu masih tidak sadarkan diri dalam pelukan Zack.

Zack menyeka darah itu dengan perasaan getir. Tangannya bergetar saat melihat wajah Arabella semakin pucat.

Zack menyentuh wajah Arabella. Berusaha setegar mungkin sambil mencoba memindahkan semua rasa sakit dalam tubuh Arabella untuk ia tanggung sendiri. Bukan hanya itu, Zack juga menggunakan sihir penyembuh pada Arabella.

Tindakan yang cukup beresiko memang untuk Zack lakukan. Namun Zack lebih tidak ingin Arabella terluka bahkan sampai meninggalkannya.

Tapi semua sia-sia. Sihir penyembuh Zack tidak berpengaruh dan sesuatu seolah menyentak sihirnya keluar dari dalam tubuh Arabella saat ia mencoba mengambil semua kesakitan itu.

Kutukannya...

Zack seketika mendongak. Matanya menoleh pada jendela kamar yang memampangkan sinar bulan penuh di luar sana.

"Tidak mungkin!" sanggah Zack pada dirinya sendiri. "Sihir Arabella sudah habis kuserap! Tidak mungkin kutukan itu masih ada!"

Setetes kristal bening meluncur menyentuh pipi Zack. Arabella saja sudah begitu tersiksa menanggung kutukannya walau dalam keadaan normal. Sekarang ia harus merasakan semua kesakitan itu bahkan dalam kondisi selemah ini?

Pathetic Destiny  [Completed]Where stories live. Discover now