Murder

14.4K 2.1K 96
                                    

Saat ini, Arabella benar-benar sudah kehilangan kendali atas dirinya. Sihirnya menguar begitu dahsyat hingga menyakiti dirinya sendiri.

Arabella tak bisa menghentikan amukan sihirnya sendiri. Bahkan walau ia bisa, Arabella tak ingin.

Arabella memandang kedua tangannya dengan bergetar. Kakinya seakan lemah untuk menopang tubuhnya.

Sungguh ia tak akan memaafkan dirinya setelah ini. Membunuh ayahnya? Itu adalah mimpi buruk. Dan kini, mimpi buruk itu sudah menjadi kenyataan.

"Ibu, maafkan aku..." lirih Arabella.

"Aku pembunuh..." Ia menggeram. Menahan gejolak hatinya yang mendorong air matanya untuk terus keluar.

"Zack menderita, karenamu!"

"Tidak..." Arabella menggeleng kala ucapan Allura terngiang di benaknya.

Zack menderita karenanya? Yang benar saja. Arabella ingin sekali tidak percaya ucapan Allura karena Zack sendiri yang bilang selama ini bahwa dia tidak merasa sakit sedikitpun.

Tapi bukankah Zack juga tak pernah bilang bahwa ia menginginkan keabadian dalam dirinya? Dan kenyataannya Zack sempat menginginkan itu.

Arabella menggeram. Apakah jika ia mati, secara otomatis keabadiannya akan menjadi milik Zack?

Arabella memukul dadanya keras. Luka-luka sayat mulai tertoreh di tubuhnya. Sihirnya menguar tak terkendali membuat seisi kamar hancur berantakan.

"ARABELLA, HENTIKAN!!"

Seketika gumpalan sihir yang terbentuk lenyap. Ruangan menjadi sunyi setelah suara bentakkan Zack terdengar.

Seolah kehilangan tenaga, tubuh Arabella jatuh bersimpuh di lantai. Masih dengan tubuh bergetar, ia mendongak menatap Zack yang berjalan mendekat ke arahnya.

"Jangan mendekat," tukas Arabella langsung.

Namun bukan Zack namanya jika menurut, penyihir itu terus melangkah dengan sorot mata tajamnya.

"ZACK, BERHENTI!!"

"KAU YANG BERHENTI!" Zack seketika sudah berada di hadapan Arabella. Memegang pundak gadis itu kuat sembari menatapnya penuh amarah.

"Jangan dekati aku!" Arabella menepis kedua tangan Zack. Ia merengsek mundur sembari terus menangis.

Zack menatapnya tidak percaya.
"Arabella--"

"Aku pembunuh, Zack! Pembunuh!!" jerit Arabella.

Zack menggeram.
"Kau bukan pembunuh!!"

"Aku membunuh ayahku!" Arabella terisak. Menatap dengan mata berairnya kedua iris hitam pekat di hadapannya. "Aku menyakitimu."

"Tidak!" bantah Zack langsung. "Apa yang kau bicarakan?!"

Namun bukannya lega, Arabella justru semakin terisak. "Kau berbohong! Minggir! Biar kubunuh si pembunuh ini!"

Zack mendesis. Ia kembali mendekati Arabella. "Jangan berbuat hal bodoh, Arabella!"

"Kenapa, Zack?"
Arabella mendongak.
"Kenapa kau menipuku? Berkata bahwa setiap kau pergi berhari-hari adalah untuk mencari tumbuhan langka? Padahal sebenarnya kau sedang memulihkan kekuatanmu yang melemah karena aku."

Zack mematung. Bibirnya kelu saat mendengar kalimat itu. Kebenaran yang seharusnya tidak pernah Arabella ketahui.

"Seharusnya aku tahu bahwa tak ada yang tak bisa kau lakukan, 'kan? Terlebih hanya perihal menumbuhkan tanaman. Kenapa aku sebodoh ini?"

Pathetic Destiny  [Completed]Where stories live. Discover now