Setelah mendapat izin, Erick langsung memasuki ruangan khusus tersebut. Nampak seorang pria paruh baya di balik meja kaca besar, pria itu tersenyum lalu mempersilahkannya duduk.

Hampir seperempat jam diwawancarai akhirnya Erick diperbolehkan pulang dan mempersiapkan diri untuk mengajar dihari selanjutnya.

"Bagaimana?" tanya Yudha. Mereka berdua sepakat bertemu di kantin sekolah setelah Erick selesai tes wawancara.

Mengembuskan napas, Erick meletakkan gelas kopinya kembali. "Saya bisa mengajar besok ... dan kabar baiknya rumah dinas bisa ditempati mulai lusa."

Yudha menjentikkan jarinya. "Bagus, tidak sia-sia lembur saya semalam. Oh iya, di kamarmu sudah ada beberapa baju yang bisa kamu pakai."

"Terima kasih," jawab Erick.

Yudha tersenyum lalu bangkit. "Jangan sungkan, saya pamit dulu."

Erick menatap punggung Yudha yang semakin menjauh dari tempatnya, setelah pria itu hilang di balik koridor ia berdecak kesal. "Bagaimana bisa aku lupa menanyakan letak perpustakaan," gumamnya.

Merasa sia-sia hanya duduk di kantin, Erick memutuskan mencari sendiri letak perpustakaan. Tadi sebelum keluar ruangan, Pak Bandi---kepala sekolah---menyuruhnya mengambil buku bahan ajar di perpustakaan.

Sepuluh menit berkeliling akhirnya Erick menemukan sebuah ruangan dengan plang kayu bertuliskan 'perpustakaan'. Setelah memastikan bahwa ruangan itu adalah ruangan yang ia cari, Erick berjalan menuju seorang wanita berkaca mata di tengah ruangan.

"Permisi, Bu," sapa Erick.

Merasa terpanggil, wanita itu mendongak, ia menatap Erick tanpa kedip. "Ganteng," celetuknya tanpa sadar.

Erick melambai-lambaikan tangannya di depan wajah wanita tersebut, berharap dengan itu bisa mengembalikan kesadarannya. "Permisi?"

"Eh, iya, Ganteng? Maaf, maksud saya, ada yang bisa saya bantu?" jawab penjaga perpustakaan itu gugup.

Erick membuang napas pelan, setelah mengutarakan tujuan dan mendapatkan buku yang ia cari dia memilih membaca buku itu di bangku perpustakaan paling pojok. Tempat ini nyaman dan tenang, akan mempermudahnya mempelajari buku untuk bahan mengajarnya besok.

Baru saja ingin membuka buku paketnya, tiba-tiba Erick merasakan telinganya berdengung, lalu terdengar suara tangis seorang gadis. Kemampuan menerawang. Kemampuan itu datang tiba-tiba, bisa dalam bentuk mimpi, bayangan, atau hanya suara. Tidak semua kejadian bisa Erick terawang, semuanya tergantung semesta yang mengizinkan atau tidak untuk Erick tahu.

Dia mencari sumber suara tangisan itu, anehnya tidak ada manusia lain selain penjaga perpustakaan. Namun, satu detik setelahnya ia menemukan seorang gadis di balik rak buku paling pojok, dia duduk membelakanginya. Gadis itu nyaris tidak terlihat karena rak di balik punggungnya yang penuh dengan buku-buku tebal.

Merasa iba dengan rintihan gadis itu, Erick memilih mendekat. Sampai di samping gadis itu yang ia dapati bukan suara tangisan, tetapi dengkuran halus. Erick memilih ikut duduk di lantai, berhadapan langsung dengan gadis SMA tersebut. Entah mengapa dia yakin gadis itu memiliki masalah berat.

Sambil menunggu gadis itu bangun, Erick membaca buku paket di tangannya. Sudah hampir satu jam menunggu tetap saja tidak ada pergerakan dari gadis itu, bahkan Erick sudah selesai memahami seluruh isi bukunya, tentu saja dengan bantuan kekuatan super yang ia punya.

Dua menit berselang suara lenguhan khas bangun tidur terdengar, Erick segera menegakkan punggung, bersiap-siap jika gadis itu terkejut dengan kehadirannya. "AAA ... hmppfff."

Hampir saja gadis itu mengundang penjaga perpustakaan menghampiri mereka karena teriakannya, untung Erick sigap menutup mulut gadis itu.

"Jangan teriak, saya bukan penjahat," peringat Erick sebelum melepaskan tangannya dari gadis itu.

"Lo siapa? Ngapain ke sini? Lo ada niat apa sama gue?" berondong gadis itu.

Erick menatap gadis itu tepat di manik mata cokelatnya, dia bergerak maju sedangkan gadis tersebut terus beringsut mundur.

"Mau apa lo?" tanya gadis itu takut-takut.

Erick meluruskan tangannya guna mengunci pergerakan gadis tersebut. Ia mengulurkan tangan lainnya, menyentuh sudut mata gadis itu yang berair. "Ada masalah?" tanyanya.

Perlahan Erick menurunkan tangannya, bersamaan dengan tatapan matanya yang bertemu dengan gadis bermata cokelat itu. Mereka saling beradu tatap dalam beberapa detik, hingga akhirnya gadis itu memutuskan kontak mata.

"Apaan, sih lo? Sok tau banget!" kilahnya.

Erick tidak menjawab, dia hanya diam membiarkan gadis itu pergi begitu saja. Detik selanjutnya dia menghilang menggunakan kekuatan teleportasinya,  kemudian kembali muncul tepat di depan gerbang rumah Yudha 3 detik kemudian. Perihal gadis yang ia temukan di perpustakaan tadi, Erick sudah tidak memikirkannya, gadis itu enggan dipedulikan, lantas untuk apa dia memikirkannya. Namun, diam-diam Erick merasa aneh dengan dirinya sendiri. Padahal di kerajaan dia dikenal sebagai pangeran yang tidak memiliki jiwa sosial, Erick dingin dan apatis.

Setelah menyimpan buku paket dan topinya, Erick merebahkan tubuh ke kasur. Dia menggunakan satu tangan untuk bantal dan satu tangan lain untuk merogoh saku celananya. Dari dalam saku tersebut Erick mengeluarkan secarik kertas usang dan membacanya dalam hati.

"Ternyata tidak mudah untuk menemukanmu," gumamnya.

Kedatangan Erick ke bumi memang memiliki tujuan tertentu, dia memiliki suatu misi untuk ritualnya. Dia ingin mencari seseorang dengan ciri-ciri yang diterangkan dalam kertas usang yang selalu ia bawa. Menurutnya, dengan bergabung bersama bangsa manusia akan mempermudahnya menemukan seseorang yang dimaksud atau sekadar firasat akan keberadaannya.

Selepas menyimpan kertas usang itu Erick bangkit, dia tidak bisa terus seperti ini, dia harus mencarinya. Setelah memantapkan niat, Erick menghilang. Entah akan muncul kembali di mana, Erick hanya ingin mencari seseorang tersebut, sesuai tujuannya datang ke bumi.

•••
Hope you enjoy🙏

#TBC

Who is She? Where stories live. Discover now