56. Gift by a God

1K 55 0
                                    

Hidup dan mati merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dihindari untuk manusia yang terikat dengan dunia. Sudah takdir alam dan Tuhanlah yang memelihara semuanya. Tuhan yang tahu akan takdir manusia. Tinggal manusia yang ber akting sesuai naskahnya. Antara bertahan atau menghindar dari takdir.

Vano yang sebelumnya merasa Tuhan tidak adil. Sekarang dia tahu yang sesungguhnya tentang Tuhan. Kadang Takdir itu berkata berbeda dengan yang diinginkan manusia. Agar manusia itu tahu, seberapa kuat dirinya tahan dengan takdir yang selalu saja memberikan kesedihan.

Tuhan itu adil. Hanya saja seseorang itu tidak tahu dari sudut pandang mana dia tahu keadilan itu. Vano sedikit tersenyum ketika dia melihat mamanya yang kini membuka matanya perlahan. Tuhan mengembalikan mamanya pada dirinya. Vano sedikit bersyukur. Mamanya kembali hidup setelah perjalanan komanya. Tuhan menyelamatkan mamanya.

Alat alat medis yang tertancap di sekujur tubuh mamanya pun sudah di lepas oleh perawat beberapa menit lalu. Vano mengelus puncak kepala mamanya lantas mengecupnya beberapa kali. Dia merindukan mamanya.

"Mama mau apa? Jangan pergi lagi ya, Ma."

Ucapan yang pertama kali dikeluarkan Vano di hadapan mamanya yang sudah terbangun dari komanya. Perlahan Virna tersenyum kecil. Seolah tidak ada tanda-tanda kesedihan di dalam sana. Ikhlas dan lebar. Seperti semuanya terasa ringan.

"Papa-dimana?" ujarnya pertama kali. Membuat senyum Vano yang pertama kali terbit kini telah hilang dengan digantikan ekspresi datar.

"Vano enggak tahu." Ucapan itu terasa singkat di telinga Virna. Membuat manusia itu tersenyum sekilas menatap putra sulungnya. Raganya masih pucat. Namun, jiwanya seolah sehat.

"Mama gak boleh banyak pikiran apalagi mikirin papa yang mungkin udah gak mikirin mama lagi." Cowok itu berkata sangat dingin. Seolah memang sudah sangat benci dengan kata 'Papa'

"Mama makan dulu ya? Gak usah banyak pikiran. Mama baru bangun dari koma."

Panjang dan lebar. Vano sangat cerewet kali ini. Membuat Virna gemas dengan putranya itu. Namun, wanita paruh baya itu menggeleng singkat.

"Mama enggak laper," ucapnya terkekeh. Vano yang mendengar itu mencebikkan bibirnya kesal. Tangan keriput itu tanpa sadar kini menggenggam tangan besar milik Vano seraya tersenyum. Genggamannya pun tampak lemas. Dia mengelus elus punggung tangan Vano.

"Apapun kesalahan orang, kita enggak boleh benci apalagi bales dendam," ujarnya pelan nan bijak. Vano masih terdiam menatap Virna datar.

"Kalo kamu benci, tandanya kamu sama kayak orang yang buat kesalahan. Manusia itu tempatnya salah, Devan."

"Dia papamu, sayang sama kamu." Ucapan itu membuat detak jantungnya sedikit berpacu.

"Papa enggak sayang Vano sama Mama-" ucapnya tercekat. Virna yang mendengar itu menggelengkan kepalanya pertanda cowok itu tidak boleh melanjutkan ucapan itu. Virna tersenyum lebar. Vano menatap mamanya lantas memeluk Virna erat lagi.

"Cuma Vano yang sayang sama Mama," ujar Vano pelan. Dia sedikit menitikkan air matanya. Virna terkekeh kecil. Manusia itu tampak bungkam.

Vano menatap mamanya lagi. Bukan dia selalu membenci Varon. Tapi bayangan mamanya yang selalu disakiti oleh papanya itu membuat segelintir rasa benci kian tumbuh. Dia pun sebenarnya tidak ingin membenci ayahnya itu.

"Vano!" ujar seseorang dari balik pintu. Membuat Vano menolehkan tatapannya. Beberapa orang yang dia tahu itu adalah teman-temannya menatap dirinya kian antusias.

"Assalamualaikum, Tante!" ujar Fafa menyerobot masuk seperti halnya Asya. Melihat itu Asya pun kian berdecak tidak suka.

"Sama orangtua yang sopan! sayang."

KEYVANO [Selesai] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang