53 - The world and the worse destiny for them

1.7K 149 6
                                    

Kata Arga, menjadi siap bukan masalah waktu. Namun menurut Queen, menjadi siap benar-benar membutuhkan waktu. Bukan dia yang berlebihan, namun memang begitu keadaannya.

Masalah yang akan Queen hadapi adalah masalah yang melibatkan emosi dan perasaan. Membayangkan bagaimana wajah perempuan yang telah membawanya ke dunia ini dengan kernyitan di dahi saat bertemu dengannya, membuat dada Queen sesak bukan main.

Selain itu sebuah emosi yang tertahan tidak mungkin bisa diabaikan lebih lama, belum bertemu saja, ia telah memiliki keinginan yang terlalu besar untuk mengumpat pada perempuan itu dengan kata-kata kasar.

Apa lagi jika sudah benar-benar bertatap muka nantinya?

Sekali lagi, Queen menghela nafas berat sambil memandangi lembar kertas yang ia genggam saat ini. Disana sudah tertera jelas alamat panti asuhan tempat Ibu kandungnya meninggalkan Queen sendirian. Sebuah cahaya kecil yang akan memberikan secercah harapan untuknya bertemu perempuan itu—perempuan yang enggan ia sebut sebagai Ibu kandungnya.

Queen mengalihkan tatapan datarnya dari lembaran kertas tersebut. Kemudian memandang ke depan sana, memerhatikan bulir air hujan yang ukurannya besar sedang berlomba dengan bulir lainnya untuk saling cepat sampai pada permukaan tanah yang dibuat basah.

Disaat hari dimana Queen akan menjalani kehidupannya yang baru, hujan mengingatkan Queen kembali dengan masalalu. Queen masih ingat jelas, bagaimana ia terusir dari rumah besar yang sudah ditempatinya belasan tahun oleh orang yang sebenarnya tidak berhak untuk melakukan itu, kemudian melangkah untuk pergi menjauh dibawah hujan deras yang sama sekali tak berbelas kasihan padanya saat itu.

Kala itu, Queen menganggap hujan sedang berpesta merayakan kepergiannya. Dan saat ini, Queen lagi-lagi dibuat berburuk sangka dengan sang hujan karena turun dengan tidak tahu kondisi Queen yang sedang labil.

Itu sebabnya, mulai pada hari itu Queen menjadi tidak suka hujan. Queen membencinya, bahkan dengat sangat. Karena baginya suara hujan, aroma hujan, dan apapun tentang hujan hanya akan memberi kenangan buruk padanya.

Karena saking tenggelamnya pada pikiran sendiri, ia bahkan tidak sadar jika Arga mengetuk pintu kamar yang terbuka lebar beberapa kali. Sampai akhirnya suara Arga-lah yang berhasil menyadarkannya dari lamunan.

Queen menoleh, lalu melihat sekilas penampilan Arga yang sudah rapi dengan pakaian santai namun masih sedikit formal.

"Udah siap?" Tanya Arga yang masih berdiri di ambang pintu.

Queen beranjak dengan cepat, lalu memasukan kertas yang ada di tangannya ke dalam tas yang sudah sempat ia siapkan.

"Udah."

"Tapi mampir dulu sebentar ke sekolah gpapa? Gue ada jadwal latihan piano hari ini soalnya."

"Tentu aja gpapa." Queen memberi senyum meyakinkan.

Ya, Queen tidak akan kesal. Setidaknya beberapa jam yang digunakan Arga untuk berlatih, sangat menguntungkan bagi Queen untuk sedikit lagi mendapatkan waktu agar benar-benar siap mengunjungi panti asuhan—tempat yang menjadi asalnya.

***

Meski berusaha untuk setenang mungkin, namun Queen tetap gagal melakukannya. Ketegangan terlihat jelas pada raut wajah yang cantik itu, tubuhnya juga terlihat kaku yang sedang duduk di atas kursi rotan hampir usang di dalam ruangan bernuansa putih saat ini.

Mata Queen menjelajah setiap sisi ruangan tersebut. Ada lemari kaca berbentuk persegi panjang yang terletak di sudut ruangan, di dalam lemari tersebut berisi deretan foto-foto anak kecil yang menunjukan senyum terbaik mereka masing-masing.

Princess SyndromeWhere stories live. Discover now