27 - Life must go on

2.2K 182 8
                                    

Hidup memang harus terus berjalan. Ia tidak peduli ada banyak manusia yang masih tinggal dan terjerat dalam kubangan masalalu, sehingga mungkin hanya raga mereka yang melangkah mengikuti alur kehidupan yang terus membawanya ke masa-masa baru, sementara ingatannya masih tertinggal jauh bersama kenangan masalalu yang sulit di lepaskan.

Sama seperti manusia satu itu—Arga Prasaja. Pagi ini, Arga bersikap seperti biasa, seolah kemarin malam bukanlah masalah besar ketika ia menghajar Marco secara membabi buta karena mengungkit kenangan yang berusaha untuk diikhlaskan olehnya.

Dilihat seperti sekarang, mungkin orang-orang di sekitar Arga memang sama sekali tidak melihat ada yang hancur dari hidupnya. Bahkan Dimas sahabatnya, mungkin berpikir bahwa Arga memang anak yang serba berkecukupan, memiliki segalanya, sempurna tanpa cela.

Namun mereka—orang-orang yang ada di sekitarnya, tidak menyadari bahwa apa yang terlihat sempurna di hidup Arga bukanlah kesempurnaan yang nyata. Arga, hanya salah satu dari sekian manusia yang hidupnya hancur, ia manusia lemah yang memakai topeng dengan sangat erat. Takut, jika apa yang sebenarnya ada dalam hidupnya terbongkar semua.

"Kita akhiri dulu sampai disini." Ucap guru di depan kelas Arga, mengakhiri materi yang ia sampaikan dengan menutup laptop di hadapannya.

Laptop guru di depan kelas sudah tertutup sempurna, bersamaan dengan Arga yang menutup buku catatannya.

Dimas melirik sekilas ke arah samping, dimana buku catatan beserta buku penting lain milik Arga sudah terletak rapi di atas meja. "Gue pinjem catetan lo ya, men. Bawa pulang." Ucapnya dengan santai.

Arga hanya melirik sekilas, kemudian di sandarkan bahunya sendiri pada sandaran kursi yang ia duduki. Dimas memang selalu begitu, bagaimana bisa maju jika setiap jam pelajaran saja arah pandangnya selalu menatap ke bawah, melihat ponselnya dan fokus pada game yang di mainkan.

"Shit!" Umpat Dimas, yang menarik perhatian Arga untuk kembali melirik ke arahnya.

"Gue penasaran, gimana kalo engga ada gue di kelas ini. Bisa lulus tiga tahun lagi kali lo." Canda Arga, ia terkekeh sekilas, lalu memperhatikan gerakan jari Dimas yang lincah menggeser dan menekan layar ponselnya yang memainkan sebuah game favorit sahabatnya itu.

"Mampus lo, tai!" Pekik Dimas sedikit tertahan, ia menoleh ke arah pojok belakang.

"Anjir lo! Udahlah, bosen gue main!" Sahut teman sekelasnya yang duduk di pojok belakang tersebut. Tentu merasa kesal karena kalah dalam game yang dimainkan.

Sebelum mematikan ponselnya, Dimas sempat memberikan ejekan pada teman kelasnya. Kemudian benda pipih itu ia letakan di atas meja dengan layar yang menampilkan warna hitam pekat.

"Bukannya gimana ya, gue cuma ga ngerti mau nyatet materi bu Wanda tuh dari yang mana. Masalahnya gue udah ketinggalan jauh."

Berapa kali Arga menegurnya, tetap saja Arga mendapat jawaban yang selalu sama dari sahabatnya.

"Alasan lo doang. Lagian gimana engga ketinggalan jauh, setiap jam pelajaran lo ngegame mulu, ga ada bosen-bosennya, sih."

"Ya elo yang engga waras. Bosen itu kaya lo, hiburannya cuma liatin buku yang ada tulisan doang, atau parahnya angka-angka yang buat kepala gue pusing tujuh keliling ga selesai-selesai."

Ada benarnya yang Dimas katakan. Siswa normal, tentu saja menyukai hal-hal yang diluar dari kegiatan belajar. Persis seperti apa yang di lakukannya dulu, hanya tau bersenang-senang tepat sebelum kejadian mengerikan mengubah seratus delapan puluh derajat hidupnya saat ini.

Sejak kecil Arga memang di anugerahi otak yang cerdas, ia tergolong siswa pandai di antara teman-temannya sejak menginjak bangku sekolah dasar hingga saat ini. Suatu keberuntungan yang diberikan padanya, meskipun ia dulu sering bermain dan kurang serius dalam setiap pelajaran seperti Dimas.

Princess SyndromeWhere stories live. Discover now