Twenty-third : Fear

1.6K 201 75
                                    

Jinhwan berjalan di gang-gang kumuh diantara bangunan pertokoan dengan kaki telanjang dan buku catatan bersampul cokelat yang sudah kumuh di pelukannya. Tubuh kurusnya merosot di dinding dan dia duduk dengan menyedihkan seraya menekan perut laparnya yang sudah tidak diisi selama tiga hari. Dia menoleh ke sekeliling, melihat tikus berlarian di sekitarnya menuju tumpukan sampah dalam bak besar. Bibir remaja itu pucat dan kering, dia menggigil karena hanya mengenakan baju tipis di tengah cuaca yang dingin. Kakinya menekuk dan lengan kurusnya memeluk kedua kaki itu. Matanya tak fokus dengan genangan bening disana.

“Mom... Dad... Hiks...”
Kepalanya bertumpu pada lutut dan bahunya bergetar, isakan kecil keluar dari bibirnya semakin jelas.

“Mr. Kim... Hiks... Kenapa kau... Tidak mencariku... Hiks... Nani lapar... Nani kedinginan... Nani takut...”

Suaranya lemah dan serak di tengah isakannya. Anak remaja yang lemah itu terus menangis dengan pilu. Terlihat sangat menderita dan menyedihkan. Selama ini dia tidak pernah menghadapi keadaan yang menyedihkan, selalu hidup dalam kemewahan dan kebahagiaan layaknya seorang pangeran. Dijaga dan disayangi dengan sepenuh hati oleh orang-orang di sekelilingnya. Jadi, bagaimana dia bisa sanggup bertahan dalam keadaan paling menyedihkan seperti saat ini?

Anak lelaki itu terus menangis sesenggukan dengan kepala terbenam diatas lututnya. Tidak menyadari ada langkah kaki yang mendekat ke arahnya.

“Hei, nak. Sedang apa kau disini?” Suara berat khas orang dewasa menyela tangis remaja itu.

Jinhwan menghentikan isakannya lalu mengangkat wajahnya yang berderai air mata. Menemukan seorang pria berusia sekitar 40 dengan janggut tipis menatapnya dengan tatapan aneh. Remaja kurus itu menghapus air mata dan juga ingusnya dengan kasar. Dia tidak berkata-kata dan hanya meringkuk. Takut dengan orang asing.

Pria itu menyadari reaksi Jinhwan dan sedikit melembutkan tatapannya. “Apa kau kabur dari rumah?” Ucapnya seraya berjongkok di depan Jinhwan.

Jinhwan menatapnya takut-takut, namun wajah pria itu sama sekali tidak menakutkan. Dalam tatapannya tersirat kelembutan dan rasa iba. Jinhwan berangsur-angsur menurunkan penjagaan dan menilai bahwa pria di hadapannya pasti orang baik.

Masih belum mendapat jawaban, pria itu kembali bertanya setelah sebelumnya mengamati remaja yang tampak sangat menyedihkan itu. “Kau belum makan?”

Kedua mata Jinhwan terlihat redup dan kepalanya mengangguk dengan lemah. Lalu tiba-tiba suara perutnya berbunyi, membuat sang pria tertawa.

“Sudah kuduga.” Dia berdiri. “Kau tunggu disini, aku akan membelikanmu sesuatu untuk dimakan.”

Jinhwan mengerjapkan matanya, tanpa menunggu jawaban darinya pria itu sudah pergi menjauh keluar dari gang. Kedua mata Jinhwan terus mengamati pria itu hingga menghilang, dia lalu menunduk dan menyentuh perutnya. Setelah tiga hari dia berjalan sendiri tanpa makan dan hanya minum dari tetesan air hujan ataupun genangan-genangan air di jalan, akhirnya ada seseorang yang memperhatikannya dan bahkan bersedia memberinya makan. Hatinya dipenuhi dengan rasa haru dan penuh terimakasih untuk pria itu.

Setelah menunggu waktu yang cukup lama, pria itu pun kembali dengan membawa sekantong makanan juga dua botol air mineral berukuran besar di kantong plastik lain. Jinhwan terus menatap pria yang berjalan ke arahnya dengan membawa dua kantong plastik di tangannya itu. Dia menelan ludah berkali-kali dan tidak dapat menahan rasa laparnya. Namun dia masih menjaga sopan santun yang telah diajarkan padanya sejak kecil dan tidak berani memburu makanan itu sebelum benar-benar diberikan padanya.

“Makanlah. Ini adalah ayam bumbu terbaik dari restoran ayam yang sering kudatangi. Aku juga menambahkan sayur.” Ucap pria itu sambil menyerahkan kantong berisi kotak makanan kepada Jinhwan.

I'm Yours, Master Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora