[END]

125 20 4
                                    

Aku menyadari ada sesuatu yang hilang di sekitarku sementara keempat orang tersebut menghampiriku dengan air muka panik, Yerin bahkan sempat berderai air mata.

"Apa yang kau lakukan di sini, kau ingin mati?!" khawatir SinB yang setengah marah.

Aku sempat mundur saat mereka mencoba mendekat, aku ingin pergi bersama Jin. Kakiku tak sengaja menyenggol ponselku yang terjatuh di tanah hingga benda tersebut berguling ke tempat yang terdengar jauh.

"Umji-ya?! Itu bahaya." Yuju segera menarik lenganku.

Aku menoleh sebentar ke arah ponselku yang terjatuh. Kulihat di seberang mataku terdapat sebuah terowongan, kemudian jurang yang dalam sebagai pemisah pada ujung terowongan tempatku berdiri sekarang. Jembatan untuk rel kereta hanya tersisa sedikit di ujung terowongan ini. Jurang itu benar-benar mengerikan... Gelap.

Langit pun juga sama gelapnya.

Tubuhku seketika lemas. Aku terduduk di atas rel kereta. Aku melihat sekitar. Hanya SinB, Yuju, Sowon, dan Yerin yang berada di sekitarku.

Ke mana Jin?

"Syukurlah kami tak terlambat menemukanmu di sini." Ujar Sowon, ikut terduduk di depanku, mencoba memperhatikan wajahku sembari mengelus kedua bahuku. "Kau baik-baik saja, kan?"

"Kau menghilang selama tiga hari ini." Yerin juga membuka suaranya, matanya tampak sembab. "Aku pikir kau juga ingin pergi menyusul Eunha..."

Dia bersimpuh di depanku dan mendekapku sembari kembali menangis. Begitu juga dengan Yuju dan SinB, dia juga turut bersimpuh di dekatku.

"Aku sudah bilang berkali-kali kalau ini bukan salahmu. Mengapa kau sampai harus..." SinB tak melanjutkan ucapannya. Air matanya sudah terlanjur tumpah, ia terisak layaknya anak kecil.

"Maafkan aku, sepertinya aku terlihat kurang berusaha mengajakmu berbicara setelah kepergian Eunha. Aku selalu ingin berbicara denganmu, menanyakan kegiatanmu seperti biasanya setiap waktu, tapi aku takut kau semakin risi dengan usahaku..." Yuju pun turut menangis bersamaan dengan raut wajahnya yang penuh penyesalan, ia pun mendekatiku dan juga mendekapku.

Sepertinya ada sesuatu yang kulupakan.

Selama ini, ada sesuatu yang kulupakan.

Aku mencoba mengingat itu semua.

Eunha... Eunha...

Gadis itu tak pernah bermimpi buruk.

Gadis itu tak pernah menangis di tepian danau.

Gadis itu tak pernah tertinggal kereta api.

Gadis itu tak pernah menghilang tiba-tiba seakan ditelan oleh bumi.

Aku yang selalu bermimpi buruk.

Aku yang selalu menangis di tepian danau.

Aku yang tertinggal kereta bersama yang lainnya, sementara gadis itu sudah dulu masuk ke gerbong kereta.

Gadis itu pun mengalami kecelakaan seperti yang ada di mimpiku.

Aku ingat sekarang.... Delapan bulan yang lalu, aku sering bermimpi buruk, melihat kejadian yang tak kuinginkan. Kereta api membawa kami pergi, namun pergi ke tempat yang lebih jauh lagi dan kami tak pernah kembali. Aku menceritakan itu semua kepada Eunha, dia satu-satunya yang kuyakinkan akan percaya soal mimpi-mimpiku. Bukannya aku tak ingin menceritakannya dengan yang lainnya, tapi aku tak ingin mereka merasa terganggu, terlebih bila kemah di musim semi kami harus batal. Dan suatu hari saat kami akan berkemah dan hendak masuk ke gerbong kereta, aku menyadari bahwa ponselku tak berada di saku jaketku. Eunha sudah lebih dulu masuk ke dalam gerbong dan dia tak menyadari bahwa yang lainnya ikut denganku mencari ponselku di bangku peron. Kereta itu telah berjalan, kami pun juga menyadari bahwa Eunha sudah lebih dulu pergi.

Kami pun menyusul stasiun berikutnya dengan naik bus. Tapi, sesampainya di stasiun tersebut, belum setengah jam kereta itu melaju, kereta itu menabrak kereta lain. Semua orang tak selamat. Termasuk Eunha.

Itu semua salahku... menyebabkan Eunha pergi untuk selamanya.

Karena itu, aku tak ingin berbicara dengan teman-temanku... Termasuk orangtuaku yang hampir setiap waktu berusaha ada di rumah meski pekerjaan di rumah sakit harus ditunda... Aku menghindari mereka semua.

Mereka semua berusaha mengajakku berbicara dan menghiburku, tapi aku menolak mereka.... Meski mereka, teman-temanku, juga merasa sakit akibat kehilangan gadis itu.

Aku memperhatikan wajah sembab mereka satu per satu. Sowon yang selalu tampak tegar pun juga ikut-ikutan menangis.

Apa yang telah kulakukan selama ini?

Air mataku pun seketika tumpah. Penyelasan kian berlarut dalam diriku. Mereka yang melihatku segera menenangkanku.

"Yewon-ah, tidak apa-apa. Kami ada di sini, bersamamu." Ujar Sowon, ia mengelus bahuku sembari memelukku.

"Maafkan aku..." sesalku sembari terisak.

"Kau tak harus meminta maaf. Ini semua bukan salahmu. Ayo, kita keluar dari sini. Tubuhmu terasa dingin." Sowon pun mundur dariku sembari menghapus anak sungai di pipiku, lalu membantuku berdiri bersama yang lainnya.

"Orangtuamu di luar sana juga menunggumu, ayo kita keluar dari terowongan ini dan kau harus makan-makanan yang enak buatanku setelah ini." Yerin juga bersuara, mencoba terdengar ceria. "Kau pasti tak makan selama tiga hari ini, itu terlihat jelas di wajahmu."

Aku pun mengangguk meski masih terisak.

Karena kakiku terasa lemas, SinB dan Yuju turut merangkulku. Kami berjalan menuju titik cahaya di ujung terowongan ini. Di ujung terowongan itu juga tampak ramai.

"Orangtuamu menyadari kalau kau tak kembali ke rumah seharian, karena itu ia menghubungi polisi. Di ujung sana polisi sudah menunggu." Jelas Yuju, seakan membaca pikiranku.

Bagaimana mereka tahu kalau aku berada di sini?

"Aku sering memperhatikanmu meninggalkan kelas bimbingan belajar sepulang sekolah dan kau selalu mampir ke sini. Aku tak tahu apa yang kau lakukan di stasiun terbengkalai ini selain duduk saja di peron. Kupikir kau memang benar-benar ingin sendiri. Tapi, kudengar dari orangtuamu kalau kau tak kembali, aku menyadari kalau kau akan pergi ke sini." Jelas SinB.

"Dua hari yang lalu kami datang kemari, tapi kami tak menemukanmu di sekitar peron. Dan hari ini kami datang kembali, SinB mengusulkan untuk mencarimu di dalam terowongan... Benar saja, kau ada di sini." Tambah Yuju.

"Maafkan aku... aku tak menyadari kalau kau sering memperhatikanku..." sesalku kepada SinB.

SinB menggeleng sembari tersenyum kecil.

"Yuju-ya, maafkan aku juga karena berpura-pura tak menyadari usahamu yang ingin mengajakku berbicara..." sesalku juga kepada Yuju. Lalu, aku menoleh ke Sowon dan Yerin. "Sowon-ah, Yerin-ah, maafkan aku karena selalu menolak ajakan kalian untuk berteman kembali..."

Mereka tersenyum dan menyangkal bahwa aku tak seharusnya meminta maaf.

Kami pun keluar dari terowongan tersebut. Kedua orangtuaku menyambutku dengan raut wajah cemas bercampur lega. Ada beberapa polisi yang juga turut di sana membantuku serta para medis dan mobil ambulans yang hendak menyambutku juga.

Saat aku menoleh ke belakang untuk meninggalkan stasiun tersebut, kusadari bahwa stasiun itu tampak mengerikan.[]

TunnelWhere stories live. Discover now