[11]

67 16 6
                                    

Sebelum aku berangkat ke sekolah, kutemui sebuah amplop cokelat di dalam kotak surat. Aku pikir itu surat untuk orangtuaku, namun ada namaku tertera di sudut kanan atas amplop tersebut, 'untuk Umji-ya'.

Barangkali itu surat dari teman-temanku, mengingat tak satu pun orang yang akan memanggilku dengan nama Umji. Tapi, ternyata bukan mereka.

'Umji-ya, maaf ya soal kemarin. Kau masih marah padaku? Ingat janji kita di akhir pekan, taman hiburan? Itu jadi kan? Aku akan menunggumu pada pukul sepuluh di stasiun kereta. Jika tak jadi juga tak apa-apa.

Omong-omong, aku tak punya ponsel sepertimu, jadi aku mengirimkan surat ini. Tenang saja, kau tak harus membalasnya. Jadi kau tak perlu repot-repot mencari tahu alamat rumahku

Jin'.

Dari Jin.

Selama perjalanan pulang kemarin, kami tak saling bicara. Mungkin karena itulah ia berpikir kalau aku masih marah padanya. Percayalah, aku tak marah sama sekali.

Senyumku seketika mencekah selama bus membelah jalanan menuju sekolah. Aku terus memikirkan janji akhir pekanku dengan Jin yang ternyata adalah hari esok. Pakaian model apa yang cocok untuk pergi ke taman hiburan bersama seorang pemuda? Ini pertama kalinya aku memiliki janji di akhir pekan bersama seorang laki-laki, aku tak ingin mengacaukannya.

Ah, apa ini bisa dikatakan kencan, ya?

Pipiku bersemu.

"Umji—Yewon-ah..."

Aku kenal sekali suara itu, dan tebakanku benar akan seseorang yang memanggilku. Murid-murid berhamburan keluar kelas saat bel jam istirahat berbunyi dan aku baru beberapa langkah meninggalkan kelas, di belakangku Sowon memanggilku. Di dalam dekapannya ada buku-buku tulis milik murid-murid kelas kami yang akan dikumpulkan di ruang guru.

Aku berhenti melangkah dan menatapnya. Ini pertama kalinya sejak kejadian itu ia mau menyapaku. Kupikir pun, selama ini ia sama sepertiku—menahan diri untuk tidak saling sapa. Rasa bersalah itu tiba-tiba saja muncul.

"Kau ikut bimbingan belajar di luar sekolah? Kau tak pernah terlihat lagi saat bimbingan belajar di sekolah berlangsung."

"Aku punya mentor belajar di rumah." Kilahku.

Sowon mengangguk mengerti. Aku sendiri tak tahu mengapa aku membohonginya.

"Kau baik-baik saja kan akhir-akhir ini?" tanyanya. "Kita sudah lama tak berbicara."

Aku memaksa senyum. "Iya. Aku baik-baik saja. Kau mau kubantu membawakan buku—"

"Tidak usah. Aku sudah biasa. Kau kan tahu itu, ini tugasku..." Ia menolak tawaranku. Lalu ia menatapku sebentar. "Sesuatu yang baik terjadi padamu?"

Pupil mataku seketika melebar. "Apa?"

"Ah, kau memang terlihat jauh lebih baik akhir-akhir ini." Jelasnya.

Kupikir bukan suatu hal yang mengagetkan bila Sowon tahu soal itu. Ia pandai membaca perasaan orang lain.

"Kalau ada sesuatu yang terjadi padamu, bisakah kau menceritakannya padaku juga? Aku sebenarnya tak suka situasi kita dengan yang lainnya saat ini... Meski tak bisa berbicara dengan yang lain, setidaknya kita bisa saling berbicara, bukan begitu?"

Aku masih terdiam memikirkan perkataannya.

"Tapi, kalau kau masih tak bisa, tak apa-apa..."

"Kim Sojung, cepatlah kemari! Aku ingin segera mengoreksi PR-PR kalian."

Aku bahkan belum menyetujui dan wali kelas kami sudah meneriaki Sowon dari luar pintu ruang guru. Sowon pun buru-buru menuju ke sana.

***

Dari sekian banyak pakaian yang ada di lemari, pilihanku pun jatuh kepada gaun selutut kotak-kotak dengan kardigan berwarna cokelat muda. Kutepati janjiku kepada Jin di hari Minggu tersebut. Stasiun ladang ilalang yang selalu jarang pengunjung tersebut tampak seorang Jin yang sedang duduk di sebuah bangku—seperti biasanya. Dia mengenakan atasan rajut berwarna cokelat yang turut menutupi lehernya dan celana jeans panjang.

Tahu aku sudah datang, ia secepatnya beranjak dari bangku dengan tampang bersemangat.

"Agaknya aku tak pernah memberitahumu soal pakaian warna apa yang akan kupakai hari ini." Katanya, sembari menunjuk kardiganku.

"Ah, benar juga, warnanya sama." Aku memperhatikan kardiganku dan pakaian Jin. "Wah, kebetulan sekali."

Kami berdua pun tertawa.

Belum lama dari itu, kereta pun datang, membawa kami melintasi terowongan gelap yang tak kusuka—beruntungnya ada Jin yang menggenggam tanganku—dan berhenti di stasiun ladang lavender. Selepas melewati ladang lavender, kemudian ladang gandum, kami naik ke sebuah jalan raya yang sepi.

"Karena ini belum di kotanya, jadi terlihat sepi." Jawab Jin akan kebingungan.

Benar saja. Usai dua puluh menit menelusuri jalan raya, kutemui sebuah jalanan yang ramai akan orang-orang yang berdagang sehingga jalanan tersebut tampak penuh berkat pengunjung. Daerah ini seperti jalanan Hongdae saja, hanya saja daerah ini sedikit lebih tua.

Jin bilang, setelah keluar dari jalanan ini, kita bisa menemukan taman hiburan yang menjadi tujuan awal kami. Iya, benar! Taman hiburan yang penuh wahana dan bangunan yang bergaya retro. Pengunjung di sana pun juga ramai, ini pasti karena efek hari Minggu.

Senyumku terus mengembang berada di tempat tersebut, sudah lama aku tak mengunjungi taman hiburan. Jin membelikanku permen kapas sebelum kami naik komidi putar. Menyenangkan sekali! Sayangnya, aku tak begitu suka wahana ekstrim yang menantang adrenali hingga membuat perut terguncang. Jin ternyata juga sama. Lalu, ia pun memutuskan untuk naik bianglala bersamaku.[]

TunnelWhere stories live. Discover now