[10]

89 20 13
                                    

Apa yang dikatakan Jin itu benar, ladang gandum di kota ini sungguhan ada. Itu berada setelah kau puas melihat ladang lavender. Kau akan melihatnya, ladang gandum yang indah akibat tertimpa sinar matahari senja.

"Aku tak pernah tahu bahwa kota ini juga punya ladang gandum. Aku tak begitu suka berpetualang. Sering berkemah pun semenjak di bangku SMA dan karena teman-temanku. Kalau SinB, mungkin dia sudah tahu lebih dulu soal ini. Dia pasti sudah menjelajah sampai ke sini karena kuingat—katanya—sejak kecil ia senang menjelajahi pinggiran kota dengan berjalan kaki."

Jin terkekeh mendengar ceritaku. "Menyenangkan lho bisa menjelajahi banyak tempat, rasanya kau akan menemukan sesuatu yang tak kau duga. Temanmu itu, SinB pasti berpikir begitu."

Kami masih setia melewati jalanan setapak, ujung tanaman-tanaman gandum tersebut bergoyang-goyang karena diterpa pelan angin sore. Aku tersenyum melihatnya.

"Aku juga pernah berpikir begitu, saat pertama kali pergi berkemah dengan teman-temanku. Kami berkemah di atas bukit dan saat malam dari bawah terlihat cahaya-cahaya lampu kota. Berkilau-kilau. Itu indah, seakan melihat bintang di langit, namun kali ini melihatnya dengan menunduk. Aku juga jadi menyukai suara mata air yang mengalir di pegunungan atau mendengar jangkrik di hutan semenjak sering berkemah."

"Pasti menyenangkan, ya, bisa berkemah bersama teman-teman."

"Memangnya Jin-ah tak pernah?"

Jin menggeleng dengan sudut bibir tertarik sedikit. "Palingan hanya berkemah sendiri."

"Mengapa?"

"Aku lebih senang melakukan sesuatu dengan sendiri."

Tapi, sepertinya bukan itu jawaban yang sebenarnya.

"Umji-ya, bukankah kau ingin kembali bersama teman-temanmu?" ucapnya tiba-tiba. Aku kaget mendengarnya.

"Ah... itu..."

Jin yang sebelumnya berjalan di depanku, kini berhenti dan berbalik untuk menghadapku.

"Aku ingin mencobanya, menyapa teman-temanku. Tapi rasanya tak bisa. Aku dan mereka seakan punya tembok yang semakin tinggi saja."

Pemuda di hadapanku ini menatapku mengerti.

"Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?"

"Apa sesuatu terlintas di benakmu? Cara agar kalian bisa kembali."

"Aku berpikir ingin menyapa mereka kembali... bahkan hampir melakukannya dan selalu gagal. Kemudian aku pernah berpikir untuk mencari Eunha... Tapi, kurasa aku tak bisa. Sudah tujuh bulan Eunha menghilang, jejak kepergian Eunha sudah benar-benar lenyap pastinya. Sampai sekarang aku tak tahu ke mana dia pergi. Seandainya saja aku bisa menemukan Eunha, mungkin pertemanan kami juga bisa kembali."

"Kau pasti bisa menemukan Eunha bila kau benar-benar mencarinya. Bukankah dia seorang gadis yang tidak berpikir untuk melarikan diri terlalu jauh? Ah, aku hanya berpikir begitu... Bila kau ingin seseorang membantumu mencarinya, kau bisa meminta bantuanku."

Aku tersenyum mendengarnya, meski masih terdengar mustahil. "Terima kasih Jin-ah. Aku senang atas tawaranmu."

Dia juga turut tersenyum.

Saat langit mulai gelap, aku dan Jin segera kembali ke stasiun, lalu pulang ke kota dengan kereta sepi yang biasa kami tumpangi.

"Ini sudah lewat jam makan malam. Kau tak akan dimarahi orangtuamu?" Jin mencoba membiarkanku berjalan terlebih dahulu selepas kami keluar dari stasiun. Pencahayaan dari stasiun semakin menyusut dan berganti dengan pencahayaan dari bulan.

"Orangtuaku pasti belum pulang. Kemarin-kemarin juga begitu. Jadi, tak masalah." Ujarku. "Bagaimana dengan Jin-ah? Seharusnya kau juga khawatir dengan dirimu sendiri karena orangtuamu pasti akan segera tahu bahwa kau selama ini membolos dari sekolah?"

Jin terkekeh. "Aku ini tak punya orangtua lho, Umji-ya. Jadi, tak ada yang perlu aku cemasi."

Aku yang sedari tadi berjalan dengan hati-hati, kini menoleh ke belakang. Wajahnya agak remang, tampak tersenyum tipis. Seketika aku merasa bersalah.

"Maafkan aku. Aku tak tahu soal itu." Sesalku.

"Tak apa-apa." Jin memaklumi. "Bagaimana dengan akhir pekan nanti? Kita jadi kan pergi ke taman hiburan?"

Aku mengangguk semangat. Saat aku kembali berjalan, aku teringat akan sesuatu.

"Jin-ah, jam berapa kita akan pergi ke taman hiburan? Dan bertemu di mana? Di stasiun itu? Tapi, bagaimana jika ada sesuatu yang membuat kita tak bisa pergi, sementara kita tidak bisa membagi kabar? Kita seharusnya bertukar nomor telepon, bukan begitu?"

Aku menoleh ke belakang saat Jin tak menjawab pertanyaanku. Namun aku tak melihatnya. Aku pun berhenti melangkah, mengedarkan pandangan ke sekitar. Hanya ada ilalang-ilalang yang bergoyang akibat angin malam. Langit berwarna hitam, ditemani rembulan berwarna perak yang terang. Aku hanya sendirian di tengah-tengah ladang ilalang ini...

Ah, mimpi itu... sama seperti ini. Saat hanya ada aku sendirian di tengah-tengah ladang ilalang. Suasana malam harinya juga sama seperti ini.

Kulitku terasa tertusuk dan tulangku mendadak ngilu.

"Jin-ah? Kau di mana? Jangan bercanda, itu tak lucu lho?!" pekikku dengan suara bergetar.

Aku pun berjalan dengan kembali ke arah sebelumnya, berusaha mencari Jin. Namun aku tak menemukannya. Aku meneriaki namanya dengan kencang, namun tak ada jawaban. Suaraku semakin serak hingga tak mampu berteriak lagi. Tubuhku terasa bergetar, berikut air mataku yang mendadak tumpah akibat terlalu takut

Aku benar-benar takut.

"Umji-ya?"

Seseorang menyentuh pundakku, aku pun segera berbalik badan. Dengan pandangan yang buram, Jin berada di hadapanku.

"Berhentilah bercanda seperti itu, bagaimana jika kau benar-benar menghilang? Kau membuatku takut..." ucapku masih terisak.

Jin tampak merasa bersalah dan mengelus kedua pundakku. "Maafkan aku." Sesalnya.

Aku pun bergerak ke arahnya, mendekap tubuhnya dengan tersedu.[]

TunnelWhere stories live. Discover now