[8]

80 18 2
                                    

Rasanya sama seperti ini. Sewaktu kereta mencoba menerobos terowongan. Gelap. Ada kecemasan yang memenuhi rongga dada ini. Hanya saja, bila hari itu semuanya terasa hening karena memikirkan Eunha hingga satu di antara kami tak sanggup saling menguatkan, tetapi hari ini Jin mampu meredakan kecemasan akan gelapnya terowongan ini dengan menggenggam tanganku. Telapak tangannya terasa kasar dan dingin. Tapi, itu cukup membuatku sedikit tenang.

Kami turun dari gerbong di stasiun pertama. Eunha tak mengangkat telepon kami, apalagi membalas pesan kami. Nomor teleponnya tak aktif.

"Apa sebaiknya kita kembali ke kota?" tanya Sowon memandang kami satu per satu sembari menurunkan ponsel dari telinganya.

"Tapi, Eunha bisa menyusul, kan? Dia tahu ke mana kita akan pergi." Ujar Yuju.

"Bagaimana jika ia tak mau menyusul?" Yerin berkomentar.

"Atau sebaiknya kita menunggu di sini?" SinB pun turut berucap. "Eunha terkadang ceroboh. Dia bisa saja ketinggalan kereta seperti ini dan daya baterai di ponselnya kosong karena bermain gim tadi malam. Setelah kereta selanjutnya datang ke stasiun ini, Eunha pasti ada di dalam sana."

Kami pun menyetujui ucapan SinB, lalu menunggu kereta dari kota datang ke stasiun ini dengan harapan ada Eunha di sana. Namun Eunha tak ada di gerbong mana pun.

"Tapi kupikir Eunha tak akan kembali." Ucapku pelan.

Semuanya serentak menolehku sewaktu kami kembali berkumpul di peron, hal itu membuatku sedikit kaget. Aku mendadak merasa takut mengatakannya. Namun, yang lain tampak menunggu penjelasanku.

"Eunha menangis tadi..."

"Kau mungkin salah lihat." SinB kembali bersuara. "Mengapa pula dia tiba-tiba menangis?"

"Benar. Mungkin kau salah lihat. Eunha tak pernah mengeluh soal apa pun kepada kita..." Yuju ikut menyetujui. "Jadi, bila ia menangis karena suatu hal, pasti ia akan langsung mengatakannya."

"Tapi... bukankah kelakuannya agak aneh tadi? Ucapannya..." Yerin terdengar ragu.

"Sudahlah, bagaimana jika kita pulang saja? Aku semakin cemas bila terus-terusan berada di sini. Barangkali Eunha malah kembali ke rumah, kita bisa langsung mendatangi rumahnya."

Mendengar usulan Sowon, kami pun kembali ke kota dan segera ke rumah Eunha. Sayangnya, tak satu pun orang di dalam sana yang mau menyambut kami. Rumah tersebut tampak sepi. Barangkali orangtua Eunha sedang berpergian karena saat itu sedang hari Sabtu.

"Jadi, bagaimana? Apa kita akan pulang ke rumah masing-masing?" tanya Yuju. "Kemah kita kali ini batal?"

"Aku jadi berpikir kalau Eunha sudah pergi ke tempat berkemah kita." Ujar SinB.

Sowon menghela napas, "Aku bingung sekali."

Sewaktu kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing, Yerin mengatakan sesuatu padaku saat kami berpisah arah dengan yang lainnya.

"Perasaanku tak enak soal Eunha. Sejak kemarin ia ingin kemah musim ini batal." Ujarnya. "Bukankah Umji-ya juga merasa begitu? Eunha mengatakan sesuatu kepadamu? Tentang masalahnya atau sesuatu yang mengganggunya akhir-akhir ini?"

Aku ingin mengatakan bahwa Eunha menangis saat ia sengaja tertinggal kereta, tapi apa Yerin percaya? Yang lainnya tadi tak percaya. Apa kukatakan juga soal mimpi Eunha yang terasa nyata sampai ia sering menangis diam-diam di danau? Tapi aku sudah berjanji padanya untuk tidak mengatakan itu... Tapi lagi, Eunha pernah mengatakannya sebelum aku dan yang lainnya—lagi-lagi—masih tak percaya.

TunnelOù les histoires vivent. Découvrez maintenant