[2]

134 26 0
                                    

"Kau juga ingin naik kereta, kan? Duduklah di sini."

Sekali lagi ia bersuara, tangannya menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan bahwa aku harus duduk di sana. Aku pun menurut.

Kuingat dulu, saat aku akan memulai masa sekolah menengah, orangtuaku sering berpesan bahwa aku tak boleh berbicara dengan orang asing yang berada di luar lingkungan sekolah. Aku sering bertanya alasannya dan mereka berkata bahwa tak semua orang yang ditemui memiliki maksud yang baik meski mereka tampak baik.

Pemuda itu memiliki rambut hitam lurus, wajah yang lonjong, mata monolid dengan pupil cokelat gelap yang berbinar, hidung yang agak kecil, bibir yang berisi, dan kulit yang pucat. Wajah tersenyumnya sekarang menunjukkan bahwa dirinya tidak seburuk yang aku pikirkan. Barangkali memang pemuda itu tak memiliki maksud apa pun.

Tatkala aku duduk di sampingnya, ia memperhatikanku sebentar.

"Kau anak sekolahan juga?" tanyanya.

"Iya." Aku memperhatikan bajuku sebentar. "Tak banyak yang memakai baju sekolah sepertiku. Aku mendapatkan gaun mengembang. Kelihatan ketinggalan zaman, ya? Apalagi panjangnya sampai di bawah lutut."

"Memangnya ada sekolah yang membuat banyak seragam?"

"Ada, sekolahku." Jawabku. "Di sekolah, ada enam model pakaian dan para murid baru bebas memilih. Ada yang pakai blazer dan rok selutut. Tapi, ibuku memilih gaun ini. Beliau bilang, aku jauh lebih cocok bila memakai gaun ini untuk sekolah."

"Tapi, itu memang cocok denganmu kok."

"Oh, ya?"

Saat dia mengangguk, aku tersenyum dengan pipi menghangat.

"Kau bersekolah di mana?"

"Sekolah khusus perempuan Binae. Kau tahu?" Aku pun menjelaskannya selepas ia menggeleng bingung. "Setelah kau keluar dari ladang ilalang dan belok ke kiri, kau akan menemukannya selepas di persimpangan."

Dia diam sebentar, sebelum mengangguk sembari bergumam, "Ternyata sudah menjadi sekolah khusus perempuan, ya?"

Aku menaikkan sebelah alisku. Sadar bahwa aku mendengarnya, ia cepat-cepat tersenyum.

"Bukankah ini masih jam sekolah? Kau membolos?" tanyanya sembari menebak.

"Ah, benar." Aku mulai teringat alasanku bisa sampai kemari. "Aku harus belajar di luar kelas karena terlambat masuk kelas." Aku pun memandangnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia tampak seperti seorang anak sekolahan. "Bukankah kau seharusnya berada di sekolah juga?"

Dia mengusap tengkuknya. "Aku tak suka pergi ke sekolah."

"Kenapa?"

"Aku tak punya teman."

Agaknya dia korban perisakan, pikirku. Aku pun mengangguk mengerti.

"Jadi, kau sedang membolos? Kau ingin pergi ke mana?"

"Iya. Taman hiburan. Atau ke tepi danau. Aku ingin bersenang-senang... Kupikir keretanya sebentar lagi datang. Oh, iya. Bagaimana dengan kau? Kau ingin naik kereta juga, kan? Kau mau pergi ke mana?"

"Sepertinya aku akan kembali ke sekolah. Akan jadi masalah besar bila wali kelasku melapor kepada orangtuaku kalau aku membolos. Aku sudah sering terlambat."

"Lalu, mengapa kau bisa sampai ke sini?"

"Aku ingin menghabiskan jam pelajaran pertama dengan pergi jalan-jalan dekat sekolah."

Pria manis itu terkekeh. "Omong-omong, siapa namamu?"

"Kim Yewon. Kau?"

"Nama yang cantik. Kau bisa panggil aku Jin."

"Jin?" sebelah alisku terangkat.

"Kau punya nama kecil yang dibuat oleh orang-orang terdekatmu?"

"Punya. Teman-temanku yang memberikan nama itu, Umji. Tapi, aku tak suka."

"Umji? Maksudmu jempol?" Ia mengangkat kedua jempolnya.

Aku mengangguk dengan bibir menekuk. "Pasti kau ingin mengejekku."

Dia terkekeh lagi. "Bagaimana jika kupanggil 'Umji-ya'? Lagi pula, tampaknya kita seumuran. 19 tahun?"

Meski merasa agak kesal karena ada orang lain yang memanggilku dengan nama tersebut, entah kenapa aku mendadak rindu akan panggilan itu. Maka aku pun menyetujui.

"Wah, ternyata kita seumuran, ya. Kalau begitu, aku boleh memanggilmu 'Jin-ah'?"

"Tentu saja." Ujarnya, senyum manisnya pun terukir menjadi-jadi di wajahnya.

Suara roda kereta yang berputar di atas rel kian mendekat. Pemuda yang bisa kupanggil Jin itu segera mengangkat bokongnya dari bangku. Aku pun juga turut bangkit dari sana, hendak mengantarkan kepergiannya.

Kereta pun berhenti, pintu gerbong kereta segera mengangak. Jin pun melewati pintu tersebut. Sebelum pintu tersebut tertutup rapat, ia berbalik badan, menatapku dengan senyum yang tak mau pudar.

"Umji-ya, ayo kita bertemu lagi."

Aku sempat kaget akan ucapannya, namun aku cepat-cepat tersenyum. "Ayo, kita bertemu lagi."

"Di stasiun ini. Setiap hari Jumat."

Aku mengangguk dan masih setia tersenyum meski kereta tersebut sudah berlalu.[]

TunnelWhere stories live. Discover now