[6]

87 22 0
                                    

"Menghilang? Menghilang dari muka bumi ini? Tentu saja kami akan menghilang. Semua orang akan menghilang setelah jantungnya berhenti berdetak, kemudian dikremasi."

SinB yang mengatakan itu sembari tergelak, menganggap bahwa Eunha sedang membicarakan sesuatu yang aneh. Ah, di foto ini, dia yang berdiri di samping Eunha. Namanya Hwang Eunbi. Mengapa kami menjulukinya SinB? Kesan pertama bertemu dengannya adalah misterius. Kau tak akan bisa menebak apa yang ia pikirkan dari ekspresinya. Semuanya tampak datar. Tapi, ternyata dia gadis yang gila. Gila dalam dua artian: karena tukang berandalan dan karena baiknya minta ampun. Meski ia sering menjahili murid-murid di kelas dan berbicara kasar sewaktu-waktu, ia tak pernah sekali pun mengkhianati teman-temannya.

"Seperti daun kering ini. Dia juga akan lenyap dari muka bumi ini bila dikremasi."

Choi Yuna, yang biasa kami panggil Yuju ini mengambil segumpal daun kering di bawah kakinya sebelum akhirnya ia lempar ke dalam api unggun di hadapan kami. Ia pun tergelak-gelak, tak kalah dengan gelakan SinB. Daun-daun tersebut pun telah lenyap dimakan kobaran api.

Semua orang menyukai Yuju karena tingkahnya. Dia senang melucu sehingga bisa membuat suasana yang sebelumnya membeku mendadak mencair. Karena itu pula, orang-orang menyayanginya dan julukan Yuju cocok untuknya. Dia seperti bentuk kasih sayang yang nyata.

Namun, hal itu tak membuat yang lainnya tertawa. Terutama Jung Yerin. Di foto ini, Yerin duduk di antara SinB dan Yuju. Lima hari sebelum hari itu, ia menghitami rambutnya dengan sedikit warna biru. Yerin memukul lengan SinB dan Yuju, mereka sempat mengaduh kesakitan.

"Kalian berdua ini, mencandai hal-hal semacam itu. Itu tak lucu lho. Dasar!"

Si harta karun kami ini terlihat marah... Iya, Yerin, dengan artian harta karun. Wajahnya seperti boneka, ya? Semua orang bilang begitu. Mengapa kami tak menjuluki dengan nama yang berbeda dari nama aslinya? Kami hanya berpikir kalau nama itu jauh lebih cocok. Harta karun. Dia bisa menari samba, menyanyi, pintar, cantik dan pastinya baik nan perhatian seperti seorang kakak. Kau akan susah menemukan gadis sepertinya di zaman sekarang. Seperti harta karun, bukan?

"Eunha-ya, sesuatu mengganggu pikiranmu?"

Kim Sojung. Kami memanggilnya Sowon. Dia mengelus bahu Eunha dengan tampang khawatir. Dia selalu begitu. Gampang mencemasi kami bila ia mengendus ketidakberesan yang ada pada kami dan dia terkadang mendadak cerewet sehingga kami tak bisa melawan perkataannya. Layaknya seorang Ibu, dia terkadang menjadi harapan kami. Ah, iya, itulah kenapa kami menjulukinya Sowon, dia seperti harapan.

Eunha menatap Sowon sebentar, berganti menatapku yang duduk di samping Sowon. Raut wajahnya tak dapat kubaca saat itu. Namun, seketika ia menarik sudut bibirnya. Ia menggeleng. Memaksa kembali ceria.

"Tidak ada kok. Aku hanya bercanda."

"Huh, dasar! Aku tahu kau tak akan serius mengatakan itu. Tapi, aku malah dipukul Yerin karena mencandai ucapanmu tadi."

SinB menatap kesal Yerin yang juga turut menatapnya dengan mata melotot. Sesaat, mereka malah bertengkar.

"Tak menyenangkan sama sekali." Keluh Yuju. "Aku jadi ingin makan ubi lagi. Aku bakar ubi saja."

"Yerin-ah, SinB-ah," tegur Sowon, mencoba menghentikan mereka. "Sudahlah. Jangan bertengkar, hei! Lebih baik kita kembali ke tenda. Ini sudah tengah malam. Ah, Yuju-ya, bisakah kau tidak makan lagi? Ubinya bisa habis dan besok kita masih berkemah!"

Karena kami membawa tiga tenda, jadi setiap tenda disediakan untuk dua orang saja. Biasanya aku sering berbagi tempat dengan Yuju, namun kemah kali ini Eunha ingin satu tenda denganku.

"Umji-ya."

Aku pun segera menyampingkan tubuh ke arahnya sewaktu ia menyebut namaku. Matanya yang bulat masih terbuka lebar menatap langit-langit tenda kami.

"Ada apa?"

"Aku tak bisa tidur."

"Mengapa? Karena sering mimpi buruk?"

Dia mengangguk.

"Rasanya seperti nyata."

Eunha pernah bercerita padaku soal mimpinya itu, yang turut ada sebagai bentuk bunga tidurnya. Kami menghilang dari muka bumi ini dengan berbagai macam cara. Satu di antaranya seperti kecelakaan kereta sewaktu kami hendak pergi kemah di awal musim semi. Kami tak selamat, namun ia selamat. Akan tetapi, ia juga terkadang bermimpi bahwa dirinyalah yang tidak selamat dan kami selamat. Hingga di suatu mimpi lainnya, ia menyadari bahwa dirinya diberi sebuah pilihan dan itu akan terjadi. Kapan saja... Atau saat tahun baru tiba.

"Dulu kau pernah bermimpi kalau ujian Matematika-mu dapat nol. Tapi, kenyataannya nilai ujianmu malah dapat 100." Aku tersenyum. "Kau sering mimpi buruk dan hasilnya selalu berbanding terbalik dengan di dunia nyata. Kupikir mimpi kali ini juga sama... Ah, bukankah itu berarti bahwa kita akan terus bersama-sama?"

Dia masih tampak gundah, tanganku pun terulur ke arahnya untuk mengelus lengannya.

"Bukankah mimpi hanya bunga tidur? Eunha-ya jangan terlalu cemas soal itu. Kalau mimpi itu terasa nyata, bagaimana kalau kita tidak berkemah di musim semi mendatang? Mungkin saat awal musim panas tahun depan? Nanti kita akan bicarakan ini dengan yang lainnya."

Kegundahannya pun berganti dengan senyum teduhnya. Ia pun menyetujui sembari mengangguk.

"Kalau bercerita dengan Umji-ya itu rasanya melegakan, ya."

Ia berujar begitu sebelum kami hendak memejamkan mata, dan aku membalasnya dengan kekehan saja. Aku menyadari bahwa kelegaan memang ada pada dirinya selepas kami berbincang malam itu. Namun, sewaktu liburan musim panas telah berakhir dan kami kembali bersekolah, ia kembali tampak gundah. Setiap kali ia terdiam, wajahnya menyiratkan kecemasan yang tak bisa ia sampaikan kepada kami. Pernah sekali yang lainnya menyadari raut wajahnya itu, hanya saja Eunha selalu berkata "aku baik-baik saja kok" sembari tersenyum riang—yang tampak normal di mata kami—hingga yang lainnya tak pernah lagi sadar akan kecemasan yang dirasakan Eunha.

Akan tetapi, aku menyadarinya. Selalu. Hingga suatu hari aku menemukannya menangis di tepian danau yang berada di belakang bangunan sekolah.[]

---------

Cerita ini mungkin terasa kayak teori-teori di MV jipren, terutama yang Crossroads, tapi aku emang sengaja ngambil-ngambil sedikit dari teori MV jipren (terutama lagi, Time For The Moon Night, Sunrise, Crossroads).

Tapi lagi, ini bukan cerita soal penjabaran teori MV jipren yang aku buat dalam bentuk cerita. Mungkin nyebutnya semacam another story dari teori MV jipren dengan pake sudut pandang Umji, yang sebenarnya gak bersangkutan dengan teori asli (ngerti gak sih aku nulis apa? pokoknya gitu deh ya).

WKWKWK. Happy reading beb.

TunnelWhere stories live. Discover now