[16]

86 17 0
                                    

Setelah kuceritakan semuanya kepada Jin di bawah pohon besar ini, perasaanku perlahan membaik. Ladang lavender, seperti biasanya terjangkau oleh penglihatanku. Amat menenangkan.

"Itu berarti kau tak akan mencari Eunha?" tanya Jin sewaktu kami berjalan menuju taman hiburan.

"Aku ingin. Tapi, kupikir Eunha punya alasan tersendiri mengapa ia pergi begitu saja." Jawabku. Aku memandang sekitar. Kota yang agak kuno, tapi tampak menyenangkan. Taman hiburan yang berada di ujung mata begitu menarik perhatian. "Dia pasti suka kota ini. Lagi pula, kita sering pergi ke taman hiburan itu dan tak pernah lagi bertemu Eunha."

"Kau mengabaikan soal mimpi-mimpinya?"

"Sampai sekarang, aku bahkan tak mengerti bagaimana mimpi-mimpi itu bisa mempengaruhinya untuk menghilang dari kami." Ujarku. "Aku ingin mencoba untuk tidak memikirkan perkara itu, sama halnya dengan yang lainnya..." Kemudian aku menghela napas. "Aku tak akan pernah bisa berbaikan dengan teman-temanku."

"Bila Umji-ya tak ingin memikirkan masalah Umji-ya, bukankah lebih baik kalau Umji-ya tak memikirkannya lagi." Ucapnya. "Aku tak bermaksud meminta kau melupakan teman-temanmu, tapi kau juga seharusnya memikirkan dirimu sendiri. Memikirkan kesenanganmu dan kebahagiaanmu."

Aku terdiam sebentar, memikirkan semua perkataannya. Sepertinya aku memang sudah melupakan kesenangan dan kebahagiaanku.

"Omong-omong, Umji-ya, kau ingin naik ayunan angin?"

Aku pun tersadar akan lamunanku dan segera menjawab sembari tersenyum. "Wah, sepertinya menyenangkan. Ayo."

Aku pun seketika lupa akan permasalahanku saat bersenang-senang dengan Jin di taman hiburan tersebut. Mungkin kesedihanku beberapa hari yang lalu telah terbayarkan dengan keberadaan Jin sekarang. Kupikir pula, keberadaan Jin yang tiba-tiba selama satu bulan ini bagaikan pelita di dalam kegelapan saja. Saat semuanya menghilang dan menjadi gelap, dia muncul dengan cahaya yang kecil.

Aku berpikir, apakah Jin adalah bentuk dari kebahagiaanku yang baru setelah kebahagiaanku direngut sejak delapan bulan lalu. Aku amat senang bertemu dengannya dan merasa sedih bila tak menemukannya. Aku pun yang terkadang merasa sedih, seketika membaik bila bersamanya.

Sewaktu pulang dari taman hiburan dan harus berpisah dengannya di stasiun kereta ini, aku beralih ke arahnya. Jin masih tersenyum di bawah cahaya lampu stasiun.

Kupikir sudah waktunya aku memikirkan kesenangan dan kebahagiaanku. Aku tak ingin berada di ruangan yang gelap karena ditinggalkan oleh orang-orang yang kucintai. Aku ingin bersama Jin meski itu berada di ruangan gelap karena Jin layaknya pelitaku.

Jin tampak bingung saat aku kembali berjalan ke arahnya.

"Aku tak mau pulang." Kataku. "Rasanya akan percuma saja bila aku pulang ke rumah dan bersekolah lagi.... Apa Eunha juga berpikir begitu, ya, saat ia ingin meninggalkan kota ini?"

"Kau tak khawatir kalau orang-orang akan mencarimu?"

"Mereka tak akan pernah mencariku. Lagi pula, aku hanya pergi satu malam saja. Aku boleh ikut denganmu? Kau pernah berkata akan membawaku ke rumahmu."

"Tapi keretanya sudah berhenti beroperasi. Aku biasanya pulang dengan berjalan kaki melewati terowongan."

"Bukankah itu jauh?"

"Tidak juga. Aku sudah terbiasa."

"Kalau begitu, aku ikut denganmu."

Kami berdua pun turun ke rel kereta api, berjalan mengikuti jalur rel tersebut. Saat kami hendak memasuki lorong yang tampak gelap itu, segera aku menempel pada Jin dan menggenggam tangan kirinya.

"Kau bisa menyalakan senter di ponselmu." Usul Jin.

Aku pun secepatnya mengeluarkan ponselku dan menghidupkan senter. Sekarang, aku bisa melihat jalanan di depanku meski dengan keadaan remang dan sesak.

"Bagaimana bisa kau melewati terowongan ini, padahal kau tak punya ponsel sepertiku atau senter sungguhan?"

"Aku sudah biasa." Sahutnya. "Omong-omong, Umji-ya, kau pernah berpacaran?"

Pupil mataku seketika melebar. "Belum pernah sama sekali... Mengapa kau mendadak bertanya seperti itu?" jawabku dengan pipi bersemu.

Jin terkekeh. "Itu berarti kau belum pernah berciuman?"

"Apa-apaan kau ini... Memangnya kau pernah berpacaran dan berciuman? Ah, tentu saja. Bukan begitu? Kau pasti sedang menyombongkan diri."

Lagi-lagi dia terkekeh. "Aku menyukaimu."

Sekali lagi pupil mataku melebar, namun kali ini aku tak sanggup berkata-kata. Apa itu benar?

Tak lama ia kembali bersuara. "Umji-ya, bukankah segalanya terasa berat untukmu?"

"Apa?"

"Segalanya. Teman-temanmu, orangtuamu."

Aku tersenyum miris. "Tentu saja. Mengapa kau bertanya begitu?"

"Bagaimana denganku? Apa kau merasa bahwa aku cukup meringani bebanmu?"

"Ya. Tapi, aku tak begitu mengenalmu meski kita sudah satu bulan bertemu. Aku bahkan tak tahu nama aslimu."

"Itu berarti kau kadang tak begitu percaya padaku?"

"Aku percaya padamu kok. Hanya saja, rasanya tak adil bila hanya kau yang tahu segalanya soal aku."

"Aku akan memberitahumu banyak hal bila kita hidup bersama. Kau juga tak akan merasa sesedih ini lagi."

Aku menatapnya sebentar. Meski remang, raut wajah Jin tampak serius. Kurasakan jemarinya yang dingin semakin menaut jemariku.

"Aku sebenarnya juga tahu keberadaan Eunha-ssi, dia tinggal tak jauh dari rumahku di pinggir kota."

"Benarkah? Mengapa dia mau tinggal di sana? Dan mengapa pula kau baru memberitahuku?"

"Seperti yang kau bilang, Eunha menyukai tempat itu dan lebih banyak orang yang mengertinya ketimbang orang-orang di kota ini. Eunha sendiri tak ingin memberitahu ini kepadamu, tapi dia berpikir lagi bahwa dia mempercayaimu kalau kau tak akan mengatakannya kepada yang lainnya." Jelasnya. "Kau mau ikut denganku untuk waktu yang lama?"

Tempat menyenangkan yang Eunha sukai. Apa aku punya alasan lain untuk menolak ajakan Jin? Lagi pula, aku akan bertemu Eunha di sana. Orang-orang di sini sebenarnya memang tidak bisa mengertikan kami, bukan begitu?

Aku ingin pergi juga, ke tempat yang lebih jauh. Bertemu dengan orang-orang yang peduli juga, seperti Jin yang tersenyum denganku sekarang.

"Umji-ya?!!"

"Kim Yewon?!!"

Ponselku terjatuh akibat rasa kaget yang menghampiriku saat aku mendengar teriakan samar seseorang dari ujung terowongan ini. Terowongan sudah kehilangan cahayanya, aku segera menoleh ke belakang. Aku melihat cahaya-cahaya kecil yang tersorot ke arahku.

"Yewon-ah?!!!"

Suara itu.

"Umji?!!"

Cahaya itu semakin dekat saja bersamaan dengan suara larian yang kian terdengar. Mataku pun tak mampu menahan cahaya itu sehingga aku tak berhenti menyipitkan mata. Namun, aku mengintip sedikit dari celah-celah kelopak mataku.

SinB. Yuju. Sowon. Yerin.[]

TunnelKde žijí příběhy. Začni objevovat