[7]

85 20 0
                                    

Kuingat saat menemukan Eunha menangis di tepian danau, langit juga hampir segelap ini. Aku menoleh ke arah Jin yang masih penasaran soal ceritaku.

"Aku harus pulang. Sebentar lagi akan malam, orangtuaku pasti marah karena aku pulang saat jam makan malam."

"Oh, ya? Maafkan aku. Ayo, kuantar kau pulang. Tapi, kau akan meneruskan ceritanya, kan?"

Aku mengangguk. Kami pun meninggalkan ladang bunga lavender tersebut, pergi ke arah stasiun kereta api. Saat di peron, kereta tersebut sudah berada di sana, tampak hendak berangkat. Aku dan Jin pun naik ke salah satu gerbong, lagi-lagi tampak sepi. Hanya ada kami berdua.

"Nah, lalu, mengapa Eunha menangis?"

Jin masih penasaran soal cerita itu.

"Aku tak bisa melakukannya... Selalu gagal... Aku tak bisa."

Eunha berkata begitu sembari tersedu, membuatku kebingungan sekaligus khawatir yang kian menjadi. Kuminta ia menceritakan semuanya, lalu ia pun berkata,

"Berjanjilah untuk tidak mengatakannya dengan yang lainnya,"

"Mengapa?"

"Pokoknya jangan bilang."

Aku pun mengangguk.

"Aku sudah mencoba menyelamatkan kalian berkali-kali, tapi aku gagal. Dan aku juga sudah berusaha menyelamatkan diriku, tapi kalian malah tak bisa selamat."

"Ini soal mimpi itu?"

"Itu nyata... Aku takut."

"Bagaimana bisa kau berpikir kalau itu nyata? Eunha-ya, kau—"

"Aku sudah melaluinya beberapa kali."

Sebelah alisku terangkat saat itu.

Eunha hanya menatapku nanar sebelum akhirnya ia terisak kembali. Aku pun memeluknya sembari menerka di dalam benakku soal alasan Eunha bertingkah seperti ini. Aku tak merasa bahwa Eunha aneh, tapi, aku juga merasa takut. Mungkin mimpi yang sering menghampiri malamnya Eunha memang bukanlah sekadar bunga tidur. Sampai sekarang pun aku tak mengerti ucapannya, "Aku sudah melaluinya beberapa kali".

Terkadang aku ingin menceritakan itu semua kepada yang lainnya. Namun, karena Eunha berusaha tampak baik-baik saja di depan kami, membuatku mengurungkan niat untuk bercerita. Tapi, lagi-lagi aku melihatnya terisak di tepian danau tersebut. Hingga suatu hari, beberapa hari sebelum kami mengadakan kemah, ia mencoba memberitahu soal mimpinya itu. Saat itu kami sedang berada di Aqua Planet, melihat ikan hiu dari balik akuarium.

"Sebaiknya kita undur saja berkemah musim ini. Aku takut. Mungkin kita tak pernah kembali."

"Ayolah, Eunha-ya, kau mulai berbicara aneh lagi." Ujar SinB, matanya masih tertuju dengan sesuatu di balik kaca akuarium. Lalu ia mendekati Yerin, mengajak gadis itu berswafoto tanpa mempedulikan Eunha.

"Mengapa kau bisa berpikir begitu?" tanya Sowon.

"Berkemah di setiap musim sudah menjadi tradisi kita. Bila kita tak berkemah di awal musim dingin, pasti ada sesuatu yang kurang lengkap." Ujar Yuju.

"Aku melihatnya bahwa kalian..." Ia diam sebentar, menatap kami dengan mata nanar. Sepertinya ia tak sanggup melanjutkan ucapannya. "Aku hanya takut."

"Apa yang kau takuti? Kita sudah biasa berkemah berenam, kan? Tenang saja, bila kau takut dengan beruang, SinB bisa menjinakkannya." Ucap Yerin dibarengi dengan candaan.

"Yaa! Kau pikir aku pawang beruang?!" SinB terdengar kesal.

"Eunha-ya, kau tampak cemas akhir-akhir ini. Kupikir karena kau sering bermimpi buruk. Bagaimana jika kau menginap di rumahku malam ini? Nanti akan kubuatkan tteokbokki? Kupikir akan lebih baik jika kau punya teman saat tidur agar kau tak bermimpi buruk lagi." Sowon pun berucap sembari mengelus bahu Eunha. Meski tampak tersenyum, ia seakan tak puas dengan apa yang dikatakan Sowon.

Eunha mengangguk.

"Bagaimana dengan aku? Aku juga ingin makan tteokbokki buatanmu? Aku boleh menginap di rumahmu juga, ya, Sowon-ah." SinB ikut-ikutan menimbrung ucapan Sowon dan Eunha, yang pastinya ditolak oleh Sowon.

Melihat SinB mengerucutkan bibirnya karena merajuk dengan Sowon, membuat aku dan yang lainnya tertawa. Namun, hari itu aku tak bisa tertawa terlalu lepas. Aku terus memikirkan ucapan Eunha setiap waktu. Kemudian, saat hari kami hendak berkemah dan sedang menunggu kereta datang di peron, Eunha mengatakan sesuatu,

"Kalian tak akan bertengkar, kan?"

Tentu saja ucapannya yang mendadak itu membuat kami kebingungan. Tapi, semuanya dengan cepat kembali normal. Mereka tahu bahwa Eunha selalu berbicara dengan aneh.

"Bila kami bertengkar, biang keroknya pasti SinB." Yerin berujar sembari mencandai SinB.

"Mengapa jadi aku?" SinB terdengar tak terima.

"Atau berkat Yuju, karena dia sering berada di dunianya sendiri... Lihat dia, sekarang saja ia sedang berkelana dengan pikirannya." Aku turut bercanda sembari menoleh ke arah Yuju yang asyik menatap rel kereta api. Kemudian matanya melotot, sebelum menoleh ke arah kami.

"Apa?" Yuju tampak kebingungan, dan itu membuat kami terbahak.

Menyadari bahwa Eunha tidak begitu tertawa, aku agak menyesali candaanku tadi. Kupikir sebaiknya kalau aku ikut meminta kemah ini diundurkan bersamanya hari itu. Ia terlihat tak begitu senang. Barangkali sedang sedih.

"Pikiranmu hanya ubi saja." Keluh SinB kepada Yuju.

"Meski kita bertengkar, kita selalu cepat berbaikan." Ujar Sowon sebelum kereta datang. "Kita selalu punya cara untuk berhenti bertengkar, meskipun itu masalah besar. Eunha-ya jangan terlalu khawatir, ya?"

Kami masuk ke salah satu gerbong, dan mencari tempat duduk. Penumpang tak begitu ramai hari itu, namun akan lebih nyaman bila kami bisa duduk berbarengan serta sedikit menjauh dari penumpang yang lainnya—karena kami keterlaluan berisik. Tapi, aku menyadari sesuatu yang tertinggal sewaktu pintu gerbong tertutup. Dari kaca pintu tersebut, Eunha masih berdiri di sana, raut wajahnya kian berubah, berikut air matanya yang mulai menitik.

"Eunha?"

Kereta sudah terlanjur bergerak. Yang lainnya menyadari ada sesuatu yang salah. Mereka menoleh ke arahku, meninggalkan kesibukan mereka tadi.

"Eunha-ya masih di peron."

Begitu, kami pun mendekatkan wajah ke jendela. Eunha kian mengecil hingga tak terlihat lagi.[]

TunnelWhere stories live. Discover now