Dua Puluh Satu

210K 13.8K 984
                                    

Sudah melewati lebaran, rasanya belum telat untuk ngucapin ini, ya.

Taqabbalallahu minna wa minkum.

Mohon maaf jika selama ini ada kata-kata atau sikap yang mungkin menyinggung atau kurang berkenan, ya. Maafin juga kalau ada DM yang nggak dibalas. Mungkin karena luput atau lupa dibalas. Atau mungkin cuman nanya kapan update. Kalau sekadar nanya update emang nggak sampai dibalas. 🙏🤭

Happy reading!

***

“Jadi ... Abang itu stalker-ku?”

Stalker?!” Alisnya tampak bertaut. Keningnya itu juga terlihat berkerut. Sejurus kemudian, dia lantas tertawa pelan. “Dari sekian kemungkinan kenapa yang terpikir malah stalker, sih? Memang aku sekurang kerjaan itu sampai nguntitin kamu terus?”

Aku seketika manyun. Jawabannya itu benar-benar tidak ada manis-manisnya. Ah, aku harus ingat kalau dia adalah laki-laki realistis, bukan pria sempurna seperti dalam dunia fiksi.

“Kalau bukan stalker, kenapa Abang banyak tahu soal aku?”

Dia memasang wajah polos. “Memang iya, begitu?”

Kan?

Jangan mengharap jawaban semanis gula darinya. Yang ada kamu hanya akan dikasih garam halus. Asin!

Dia tersenyum kecil. “Dari SD sampai SMA kan kita selalu di sekolah yang sama. Rute jalan dari rumah ke sekolah juga sama, jadi nggak nutup kemungkinan kalau aku kadang berpapasan denganmu. Mungkin juga aku berada di depanmu atau aku yang berada di belakangmu.”

Ya, kenyataannya kita memang melewati jalan yang sama. Kita juga berada di tempat yang sama. Dan menghirup udara yang sama.

Terkadang kami juga menaiki bus yang sama. Bahkan, sebelum dia kuliah di luar negeri pun, kamar kami bersisian dengan jendela saling berhadapan. Saat pagi hari hingga terbenamnya matahari, jendelaku hampir selalu terbuka. Sementara tidak dengan jendela kamarnya. Meski selalu tertutup, aku tahu itu kamarnya karena sebelah kamar yang lain—yang ada balkonnya—itu sudah ditempati Nessa.

Kadang aku bertanya-tanya sendiri, mengapa jendela kamarnya itu selalu tertutup? Apa kamarnya tidak pengap? Ya, meskipun aku tahu, jendela itu kadang dibuka sedikit, tapi tetap saja membuat sirkulasi udara dalam kamar kurang sehat. Apalagi dia jarang membukanya, biar pun hanya sedikit. Mungkin hanya dua hari sekali dia membuka—sedikit—jendelanya.

“Tapi, kenapa Abang nggak nolongin aku waktu itu? Aku yakin, bukan sekali itu Abang tahu aku kena ejek temen-temen sekelasku.”

“Kadang peduli itu nggak harus dengan nolongin dia.”

Dan itulah jawaban dia yang begitu realistis. Mendengar jawabannya itu, aku hanya bisa ternganga sendiri. Jika itu terjadi di dalam novel, sudah pasti author akan membuat si tokoh laki-laki menjadi pahlawan bagi si gadis kecil. Tapi, dia? Dia malah memilih membiarkanku dan mengatasinya sendiri.

Good!

“Sebenarnya pas aku tahu kamu hampir menangis, saat itu juga aku langsung berjalan ke arahmu. Tapi, sebelum sampai di dekatmu, temanmu itu malah sudah mendahuluiku,” ungkapnya seraya tersenyum geli.

Aku tertegun.

Jadi, waktu itu dia juga ingin menolongku? Tapi, saat itu, takdir belum mengizinkan dia masuk dalam kisah hidupku.

“Terus ... waktu Abang tahu aku terpaksa masuk ke selokan, kenapa Abang nggak bantuin aku?”

“Gimana mau bantuin, orang kamu waktu itu sudah naik ke atas?”

Not a Dreaming Marriage (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang