Enam

158K 14.5K 403
                                    

“Aku nggak bisa nganter kamu, Ta.”

Itu yang dikatakan Arion saat aku meminta izin untuk datang ke acara peluncuran kosmetik halal ketika kami sarapan bersama pagi tadi. Dia lembur di kantor. Sebagai istri dari suami yang supersibuk, aku harus bisa memahaminya. Ya, meskipun itu tak mudah untukku. Kupikir, istri mana pun akan merisaukan suaminya ketika tahu ada sosok perempuan yang selalu bersamanya tiap kali dia lembur.

Aku termangu menatap layar ponsel.

Shenina.

Perempuan itu baru saja mengunggah instastory terbaru. Aku mungkin akan bereaksi biasa-biasa saja jika dia hanya foto sendirian atau bersama teman-temannya. Tapi, seseorang yang duduk di samping Shenina dan tengah tersenyum ke arah kamera itu serasa mencubiti semua bagian hatiku.

Senyum Arion benar-benar berbeda. Senyum itu lebih lebar ketimbang dia berfoto denganku di atas pelaminan saat itu.

Mataku tiba-tiba berkabut.

Aku tahu, mereka memang tidak hanya berdua. Di sebelah kanan Arion ada Ghandi yang merupakan sahabat dekat Arion sejak SMA dan juga bekerja di KelasSeru. Di samping Ghandi, masih ada dua perempuan yang aku yakin juga  bagian dari KelasSeru.  

Ya, seharusnya aku tak perlu cemburu melihat kedekatan mereka. Toh, mereka tidak hanya berdua. Seharusnya aku juga tak perlu berlebihan menanggapi  perbedaan ukuran senyum Arion yang lebih lebar ketimbang foto kami di atas pelaminan.

Tapi, kenapa mereka selalu duduk sebelahan? Lalu, senyum itu?

Meski berusaha mengenyahkan, nyatanya pertanyaan itu masih menari-nari di dalam pikiranku.
Aku menghela napas panjang. Inilah efek buruknya jika aku sampai membuat akun lain, lalu jadi stalker IG story Shenina.

“Perasaan dari tadi Vita cuman diem aja ya, Beb? Mungkin dia ngerasa jadi obat nyamuk di sini.” Suara Agni mengalihkan perhatianku. Dia mengerling jahil saat aku melirik tajam ke arahnya.

Pandanganku spontan bergeser pada tautan tangan Agni  dengan suaminya  yang saling menggenggam satu sama lain. Aku mendengus pelan. Tidak salah jika aku seperti obat nyamuk karena harus melihat kemesraan mereka.

Aku membuang pandangan pada lampu-lampu jalan yang—seolah—tak lelah berlari di tengah ingar bingar Jakarta saat malam hari. Saat kubilang Agni juga akan datang ke acara itu, Arion akhirnya mengizinkanku pergi. Apalagi ketika kukatakan, Agni akan diantar suaminya. Meski Arion tidak mencintaiku, aku tahu dia tetap peduli denganku. Mungkin rasa pedulinya itu sekadar tanggung jawab karena dia sudah menikahiku.

Lagi-lagi, mataku terasa memanas.

***

Aroma cokelat berpadu susu menguar memasuki indera penciuman. Aromanya semakin kuat seiring dengan suara langkah kaki yang berjalan mendekat. Aku menoleh ketika seseorang menyodorkan secangkir cokelat panas itu kepadaku. Uapnya tampak meliuk-liuk dimainkan angin malam yang berembus pelan.

“Untuk adik bontotku tersayang.”

Aku tertawa sekilas, lalu menerima secangkir cokelat panas itu hati-hati. Tadinya, aku yang berniat membuat cokelat panas untuk Bang Gibran. Namun, kakak tengilku ini malah mendahuluiku ke pantri.

“Biar aku yang buatin.” Itu yang dikatakannya tadi. Tentu saja aku tahu alasannya. Meskipun aku tidak sampai keliru memasukkan garam ke dalam minuman, nyatanya cokelat panas buatanku tidak seenak buatan Bang Gibran.

Aku tidak tersinggung meskipun Bang Gibran tidak menyukai minuman buatanku. Justru aku paling tidak suka jika orang hanya berpura-pura menyukai lantaran tidak ingin membuatku tersinggung.

Not a Dreaming Marriage (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang