Satu

265K 19K 802
                                    

Voment, yaaaa! Tengkyuuu. 😘😘

***

Aku kelelahan.

Hampir dua jam aku berdiri menyalami para tamu undangan, rasanya sudah tak sanggup lagi. Tulang-tulang sendi seakan menjadi kaku. Tumit juga terasa nyeri. Andai aku tidak punya rasa malu, mungkin heels sepuluh senti ini sudah kulepas sejak tadi. Aku jadi menyesal kenapa tak mengenakan sneakers saja saat resepsi pernikahan seperti ini.

Gaun yang kukenakan berukuran panjang hingga menyentuh lantai. Orang mungkin tak akan tahu jika aku hanya memakai sneakers. Toh, tinggiku dengan lelaki di sebelahku ini hanya selisih lima belas senti saja (aku 165 cm, sedang dia 180 cm). Paling tidak, aku tak sampai seperti kurcaci jika memakai sepatu yang bukan jenis hak tinggi.

Aku kembali memasang senyum paling menawan, lalu mengaitkan tangan di lengan Arion ketika beberapa tamu meminta berfoto bersama pengantin. Dari ujung mata, aku bisa menangkap, Arion juga ikut tersenyum ke arah kamera. Hanya seutas senyum yang tipis. Senyum yang seakan menegaskan jika hanya aku yang diletupi ribuan cinta di sini.

Ah, kenapa pernikahanku terasa miris seperti ini?

Aku dan Arion memang sudah dijodohkan sejak dulu. Bahkan, ketika lulus SMP aku sudah tahu jika kami dijodohkan. Bang Gibran, kakak ketigaku yang memberitahuku.

"Kita ini sudah dijodohkan, Ta. Buktinya, Bang Dhito nikah sama Mbak Indira. Bang Arvin juga akhirnya nikah sama Mbak Aliya, kan? Jadi, bisa disimpulkan sendiri kalau kita bakalan dijodohkan sama siapa," jelas Bang Gibran kala itu.

Kedua orangtuaku dan orangtua Arion sudah bersahabat sejak masih kuliah. Saking akrabnya, saat berumah tangga pun, mereka membangun rumah bersebelahan. Bahkan, sampai memiliki ide konyol dengan menjodohkan semua anaknya tanpa terkecuali karena kami berlawanan jenis.

Mencengangkan, bukan? Mungkin MURI akan mencatat pernikahan kami sebagai pernikahan paling mentok karena jodohnya hanya terbatas di keluarga itu-itu saja.

Di antara kami, tinggal Bang Gibran yang belum menikah. Dia terpaksa mengurungkan niatnya menikahi Nessa, adik bungsu Arion, karena masih kuliah.

Bang Gibran juga bernasib sama sepertiku. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia menyukai Nessa, tapi Nessa malah membencinya. Tapi, satu yang membuatku salut dengan Bang Gibran. Dia tetap berusaha memantaskan diri agar Nessa suatu hari nanti mau menerimanya. Menerima karena hatinya menginginkan Bang Gibran. Bukan menerima lantaran perjodohan itu.

Aku menghela napas pelan. Sebagai laki-laki, Bang Gibran sudah selayaknya memperjuangkan seseorang yang diinginkannya. Sedang aku? Katakan aku terlalu picik. Tapi, aku tak ingin terlihat mendambakan Arion sementara aku tahu ada perempuan lain yang dicintainya.

"Kenapa? Capek?" Itu suara Arion ketika dia melihatku menepuk-nepuk lutut yang terasa pegal sekali.

Aku hanya mengangguk. Arion bukan laki-laki sedingin es seperti tokoh dalam novel. Dia juga tidak sekaku layaknya kanebo kering. Meski kami jarang berbicara sebelumnya, kami bukan orang asing yang tak pernah bertegur sapa.

"Sebentar lagi selesai. Tahan dulu."

Aku hanya ber-hm saja menanggapi Arion. Dia tidak mungkin membisikkan kalimat yang membuat pipiku merona seperti, "Tahan dulu. Nanti aku pijitin setelah kita sampai ke kamar, Honey."

Aku mendesis pelan. Otakku jika sedang khilaf, pasti akan berhalu tidak jelas seperti ini.

Senyumku mendadak terbit ketika melihat Agni dan Davina berada di barisan paling depan untuk mengantre salaman. Mereka adalah sahabat dekatku. Kami sudah akrab sejak masih duduk di sekolah dasar. Saat akad nikah pagi tadi, mereka selalu setia mendampingiku.

Not a Dreaming Marriage (Completed)Where stories live. Discover now