Tiga

193K 15.5K 602
                                    

Voments-nya, Man teman. 😍

***

Tidak ada bulan madu.

Begitulah yang terjadi jika salah satu pihak tidak benar-benar menginginkan pernikahan ini. Aku mungkin bisa mengerti jika Arion tidak memiliki cukup uang untuk mengajak bulan madu. Aku pun bisa memahami jika Arion belum sempat membawaku bulan madu ke tempat yang jauh karena masih sibuk dengan pekerjaannya. 

Tapi, hey ... sebagai istri, bagiku tidak mengapa jika dia baru bisa membawaku ke taman dekat rumah. Andaikan dia mengajakku pergi ke Ancol, aku pun sudah bahagia. Bahkan, ke Ragunan pun aku akan menyambutnya dengan senang hati.
Bagiku, asal bersamanya, di mana pun itu aku pasti bahagia.

Aku orangnya simpel sekali, bukan?

Pasangan mana yang menjadikan Ragunan sebagai salah satu destinasi bulan madu? Ketika orang lain bermimpi bisa honeymoon ke Dubai, Maldives atau Paris, otak polosku malah menyebut Ragunan.

Ya, saking pasrahnya aku dengan pernikahan ini. 

Ketika pasangan lain mungkin sedang menikmati waktu berdua di hotel atau pergi berbulan madu ke tempat eksotis lainnya, hari ini—setelah kemarin resmi menikah—aku sudah disibukkan dengan mengemasi pakaian dan beberapa barangku. Karena kesibukannya yang terlalu padat, Arion terpaksa mengajakku pindah ke apartemennya hari ini juga.

“Kamu tuh nggak kasihan sama Vita, Ar. Masa baru nikah kemarin, langsung diajak pindahan?” Ibu—ibunya Arion yang juga mertuaku—tampak tidak setuju jika Arion langsung memboyongku ke apartemen hari ini.

“Besok aku harus berangkat ke kantor pagi-pagi, Bu,” jelas Arion yang duduk di sampingku.

Jarak kantor dengan apartemen Arion memang lumayan dekat. Jika dia berangkat dari rumah Mama, mungkin masih membutuhkan waktu setengah jam lagi untuk sampai ke sana. Itu pun jika tidak terjebak macet. Sebagai bos yang tingkat disiplinnya tinggi, Arion jelas tidak mau jika dia sampai datang terlambat. Apalagi, katanya, mau ada meeting.

Ibu mengusap lenganku lembut. “Kamu yang sabar ya, Ta. Arion orangnya sibuk banget. Ibu harap, kamu bisa lebih ngerti dia.”

Aku hanya tersenyum tipis. Sebelum menikah, Ibu sering bercerita jika putranya itu sangat sibuk. Saking sibuknya, dia terkadang harus lembur, bahkan sampai menginap di kantor. Malah pernah satu waktu ketika dirawat di rumah sakit, Arion masih nekat bekerja. Bahkan, meeting pun sampai berpindah tempat ke kamar rawat.

“Aku sudah bicara soal ini ke Vita, Bu. Dia setuju saja kalau kami langsung pindah ke apartemen,” jelas Arion lagi.

Selain bilang setuju, memangnya aku bisa melarangnya untuk tidak bekerja dulu? Bukankah dia memang tidak menginginkan pernikahan ini?

“Nggak pa-pa, Jeng. Pengantin baru penginnya cuma berdua saja. Kalau masih tinggal di sini, kan nggak bisa bebas,” timpal Mama yang muncul tiba-tiba dari balik pintu kamar.

Aku sontak memandang kesal Mama yang berjalan menuju ranjang. Meskipun umurnya hampir 60 tahun, Mama tetap berjiwa muda. Dia sering menggodaku dengan ledekan yang kadang membuatku malu sendiri.

“Guling ini kamu bawa sekalian nggak, Ta? Kamu kan susah tidur kalau nggak meluk guling ini.”

Aku menoleh. Sedetik kemudian, mataku membelalak saat Mama mengambil guling Hello Kitty yang sudah buluk dari ranjang. Mama seakan membuka aibku lebar-lebar di depan Arion. Padahal, belum hilang rasa maluku saat dia mengikuti sampai ke kamar, Mama malah menambahnya dengan menunjukkan guling kesayangan—yang sekarang tampak nyebelin—itu saat Arion masih ada di sini.

Not a Dreaming Marriage (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang