Enam Belas

161K 14.4K 619
                                    

Semoga yang nunggu Abang Yoyon nggak sampai bisulen. 🤣🤣

Vote yang banyak, yaaaaaa.

Dijamin baper inih. Yahahaha.

***

“Ternyata tangan Abang kalau lagi genggam tanganku kayak gini kelihatan lebih item, ya? Padahal kulit Abang itu kuning langsat, bukan item.”

“Karena kulitmu memang lebih putih, kan?”

Sejak tadi hanya obrolan tidak penting seperti ini yang keluar dari mulutku ketika aku mengajak Arion duduk di ruang santai. Aku bukannya menanyakan soal pengakuan cinta yang barusan dikatakannya, malah berputar-putar tidak jelas seperti ini.

Aku hanya belum siap mendengar jawabannya. Aku takut jawabannya tidak sesuai dengan yang kuharapkan.

Padahal posisi duduk kami ini seperti dua sejoli yang saling mencintai. Kami duduk tanpa jarak dengan tangannya yang menggenggam jemariku. Sementara kepalaku bersandar manis di bahunya.

“Abang ....”

“Hm.”

Aku menarik napas pelan. Aku harus berani menanyakannya. Bagaimana pun jawabannya, aku tidak mau terkungkung dalam perasaan yang masih abu-abu seperti ini.

“Abang ....” Jantungku mulai berpacu lebih cepat. “Sebenernya ... Abang ... hm ... maksudku ...  yang tadi Abang katakan, bener nggak, sih?” Suaraku memelan ketika berusaha mengeluarkan pertanyaan itu. Aku bahkan tidak berani memandangnya. Posisiku masih sama; tetap bersandar pada bahu bidangnya.

Arion sedikit bergerak untuk memandangku. “Yang tadi? Yang bagian mana, sih?”

Aku berdecak kesal. Benar, kan? Belum sejam mengatakannya, dia bahkan tidak mengingatnya lagi.
Aku mengangkat kepalaku, lalu membalas tatapannya tajam. “Masa Abang nggak inget tadi bilang apa?”

Kening Arion mengernyit sebentar. Sejurus kemudian dia malah tertawa pelan. “Kalau menurutmu bagaimana?”

“Kenapa Abang malah balik nanya?” balasku dengan nada sewot. Aku paling tidak suka berbelit-belit seperti ini.

“Dari sikapku kepadamu seharusnya sudah menunjukkan semuanya, kan?”

“Ya, mana aku tahu kalau Abang nggak pernah bilang?”

Buatku, meski hanya sekali mengucapkannya, mengungkapkan perasaan pada pasangan—lebih-lebih yang sudah halal—itu adalah keharusan. Apalagi jika mengingat surat cinta yang pernah dikirimkannya pada Shenina saat masih SMA dulu. Andai dia tidak mengatakannya, bagaimana aku bisa tahu apa yang ada di hatinya?

“Jadi, selama ini kamu ngira aku hanya pura-pura?”

“Bukan gitu.”

“Terus?”

“Jadi ... bener? Abang cinta sama aku?”

“Memangnya yang tadi masih belum jelas?”

Aku mendengus kesal. Apa susahnya dia mengulang lagi mengatakan dia mencintaiku?

“Kalau gitu katakan sekali lagi!” tuntutku memasang wajah galak. Mumpung aku tahu bagaimana perasaannya, aku harus membuatnya menuruti permintaanku.

Dia memandangku sejenak. Lalu, mendesah pelan. “Kamu itu kebanyakan baca novel, Ta. Aku udah bilang, lebih baik kurangi bacaanmu yang begitu itu.”

Not a Dreaming Marriage (Completed)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt