Empat Belas (2)

156K 14.6K 1K
                                    

Aku dan Arion bersiap hendak sarapan ketika bel apartemen tiba-tiba berbunyi. Arion menatapku seolah bertanya siapa orang yang bertamu pagi-pagi. Penghuni apartemen ini rata-rata masih single. Hubungan kami juga tidak terlalu dekat dengan mereka karena biasanya mereka berangkat kerja saat matahari baru terbit, lalu pulang ketika hari sudah gelap. Jarang ada tetangga yang bertamu, apalagi saat waktu masih sepagi ini.

Namun, aku bisa menebak siapa yang nekat menekan bel di luar sana. Bocah tengil itu sepertinya sengaja bertamu saat kami sedang sarapan bersama.

“Biar aku lihat dulu.”

Ketika Arion berjalan menuju pintu, aku buru-buru berlari masuk ke kamar. Sejurus kemudian, aku cepat-cepat mengganti daster hello kitty-ku dengan pakaian panjang, lalu mengenakan hijab instan. Saat aku keluar kamar dan berjalan menyusul Arion, aku hanya bisa menggelengkan kepala seraya menatap jengkel sosok laki-laki yang melambaikan tangan ke arahku. Arion masih belum mempersilakan masuk tamu tak diundang itu. Mereka hanya bergeming di batas pintu.

“Jadi, Vita Jelly belum bilang kalau gue sekarang tinggal di unit sebelah?”

Aku memelototi Yuris saat dia melirikku. Jika dia sampai berbicara macam-macam, aku tidak akan segan-segan membuat perhitungan dengannya.

Arion rupanya hanya diam. Entah bagaimana air mukanya saat ini karena aku berdiri di belakangnya.
Yuris melongokkan kepala ke dalam. "Kalian baru mau sarapan?”

Antara pantry dan ruang santai yang mengarah ke pintu keluar ini memang tidak disekat apa pun. Aku yakin, laki-laki berkaus oblong warna hitam dan celana jins yang robek di bagian lutut itu bisa melihat ada menu makanan yang sudah terhidang di atas meja pantry.

Dia mengusap perutnya—yang kuyakin—pura-pura menahan lapar. “Kebetulan gue belum sempet makan tadi malam. Apa gue boleh gabung sama kalian? Anggap saja ini untuk menyambut tetangga baru.”

Aku berdecih pelan. Tetangga baru macam apa yang langsung minta—numpang—makan di rumah orang lain? Kupikir hanya Yuris yang berani blak-blakan seperti itu. Dan kini aku mulai mengerti, permainan apa yang dimaksud laki-laki itu.

Tunggu! Aku baru sadar dia berbicara menggunakan gue-lo ke Arion. Padahal denganku, termasuk Agni dan Davina, dia selalu memakai aku-kamu.

“Gimana?” tanyanya seraya menatap Arion, lalu beralih sekilas kepadaku meminta persetujuan, kemudian kembali memandang Arion. “Vita Jelly sudah setuju, berarti gue boleh makan sekalian di sini, kan?”

Aku tercengang. Bocah tengil ini bener-bener.

“Aku nggak bilang setuju, ya!” sergahku kesal.

“Konon katanya yang diucap wanita itu selalu bertolak belakang dengan yang diinginkannya. Kalau kamu bilang nggak setuju berarti aku boleh numpang sarapan di sini.”

Aku ternganga. Memang susah berhadapan dengan makhluk menyebalkan ini.

“Gue boleh masuk, kan?” tanyanya pada Arion.

Kudengar laki-laki itu menghela napas panjang, lalu bergerak menyingkir memberi jalan. Sejurus kemudian—dengan tidak tahu malunya, Yuris berjalan masuk menuju pantry lebih dulu.

Sebelum menyusulnya, aku dan Arion bersipandang sejenak. Aku hanya meringis kikuk kepadanya. Dia mungkin kesal denganku karena makhluk pengganggu bernama Yuris itu tiba-tiba muncul di apartemen kami, lalu memaksa ikut bergabung untuk sarapan bersama.

Sesampainya di meja pantry, aku duduk di stool yang sebelumnya kududuki. Arion memilih duduk di sebelahku. Sedang Yuris sudah lebih dulu bergeming tepat di depan Arion.

Not a Dreaming Marriage (Completed)Where stories live. Discover now