Sebelas (2)

152K 15.4K 291
                                    

Pencarian kami tidak membuahkan hasil. Arion juga tidak mungkin mengajakku berjalan lebih jauh ketika matahari semakin meninggi. Pada akhirnya kami berakhir di sini. Di sebuah warteg kecil yang—kata Arion—sering menjadi langganannya sepulang kantor.

Bukan di restoran mewah ataupun kafe di Grand Indonesia atau Plaza Indonesia yang menjadi tempat tujuan Arion sepulang kantor, melainkan hanya di warteg.

Ya, inilah perbedaan Arion dengan anak muda lainnya yang sudah punya pekerjaan mapan.

Sekilas, mungkin Arion terkesan pelit. Padahal dia hanya bergaya hidup sederhana. Pada kenyataannya, dia tidak masalah jika aku mengajaknya mampir ke sebuah restoran atau kafe di mal yang sedikit menguras isi kantongnya.

“Kamu makan di sini nggak pa-pa kan, Ta?” Arion bertanya lagi ketika sampai di depan warteg. Sepertinya dia khawatir jika aku tidak terbiasa makan di tempat seperti ini.

“Nggak apa-apa. Kan, Abang pengin makan di sini. Lagian aku juga beberapa kali makan di warteg sama Agni, kok,” balasku meyakinkan.

Malah, selama masih lajang dulu, aku dan Agni terkadang makan di sebuah warung tenda. Hanya aku dan Agni. Tidak dengan Davina. Dokter superhigienis itu tidak mungkin makan di tempat seperti ini.

Saat kami mencapai pintu masuk, warteg sudah ramai dikunjungi mereka yang hendak makan siang. Bangku kayu yang tampak tua itu hampir penuh diduduki para pengunjung.

“Eh, Nak Arion. Lama nggak ke sini.”
Ketika kami sampai di depan etalase yang menyajikan beragam menu, seorang ibu paruh baya berbadan lebar menyapa Arion.

Arion tersenyum. “Apa kabar, Bu?”

“Baik, alhamdulillah, Nak.” Wanita berhijab instan warna merah yang sedikit miring itu menatap ke arahku. Dia tampak terpukau melihatku. “Masya Allah. Ini siapa?”

Aku menyambut uluran tangan ibu paruh baya itu seraya tersenyum kikuk.

“Namanya Lovita, Bu. Istri saya.” Sebelum aku memperkenalkan, Arion sudah lebih dulu mengenalkanku.

“Masya Allah. Pantesan Nak Arion jarang makan di sini. Istrinya saja cantik kayak gini. Pasti betah di rumah terus.”

Aku semakin dibuat kikuk karena pujian berlebihan itu. Memang, bukan sekali ini orang memuji wajahku. Mungkin karena terlalu seringnya aku malah tidak nyaman dengan pujian itu.

Beruntung, kecanggungan itu tidak berlangsung lama. Aku bergegas mencari tempat duduk ketika ibu itu mengatakan akan mengantarkan makanan pesanan kami.

“Sambelnya sedikit saja, Ta. Nanti kamu malah sakit perut,” cegah Arion ketika aku hendak menambah lagi satu sendok kecil sambal ke dalam mangkuk soto ayam.

Aku manyun. Tidak jadi mengambil sesendok sambal itu ke dalam mangkuk. “Tapi, aku suka pedes, Bang. Ini baru sesendok masih kurang.”

“Di sini cuman sesendok saja sudah pedes banget, Ta.”

“Itu kan buat Abang yang nggak terlalu suka pedes.” Aku menaikkan telunjuk kananku seraya memasang mimik memohon. “Satu sendok aja. Please ....”

Dia hanya tertawa sekilas, lalu menggeleng pelan. “Terserah kamulah.”

Aku tersenyum semringah ketika Arion tidak lagi mencegahku.

Kata Arion, soto ayam di sini enak. Dengan kuah rempah-rempah yang masih panas ditambah sambal yang pedas rasanya pasti jauh lebih nikmat.

Meski bilang enak, Arion justru tidak memesan soto ayam. Kali ini, dia memilih nasi putih, orek tempe, tumis kacang panjang, dan dendeng serundeng. Aku sedikit lega karena tidak ada menu jengkol di atas piringnya.

Not a Dreaming Marriage (Completed)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن