Lima Belas (1)

152K 14K 90
                                    

Masih pada melek, nggak, sih? 😅

Demi menenpati janji, dibelain up harus ini. Meskipun kurang sejam lagi masuk hari Sabtu. 😂

Maaaaaf nunggu lama, ya. Mood nulis lagi ambleg makanya susah nulis.

Mau tahu sebabnya?

Sebabnya nggak lain nggak bukan karena drama-drama oknum-oknum itu. Bikin nggak fokus deh! 😆

Vote-nya Ojo lali, ya! 😘

***

“Novel lagi?”

Aku spontan menyembunyikan satu judul novel yang baru saja kupilih ketika Arion tiba-tiba sudah berada di dekatku. Saat kami memasuki toko buku ini, aku memilih menjauh darinya, lalu bergegas menuju rak fiction. Kupikir, dia akan berjalan menuju rak lain—karena selera bacaan kami yang bertolak belakang. Rupanya, dia malah menyusulku ke sini.

Selesai pemotretan untuk sebuah brand baju muslim, dia menjemputku. Jam pulang dari kantornya hampir sama dengan waktu berakhirnya pemotretan. Aku hanya menunggu dua puluh menit sampai dia muncul di depanku.

Karena stok buku bacaan sudah habis, aku meminta Arion untuk mampir ke mal yang searah dengan jalan pulang. Sekalian mencari makan malam di sini.

Aku berdeham pelan untuk mengubah ekspresi wajahku menjadi biasa saja. “Ini novelnya aman, kok. Abang jangan mikir yang anggak-anggak.”

“Aku tahu selera bacaanmu seperti apa.”

“Abang tahu bacaanku kayak apa?”

“Hanya menebak. Sepertinya tebakanku nggak salah.”

Aku sedikit mengerucutkan bibir ke kanan. Selera bacaanku memang yang receh-receh. Kebanyakan novel yang kubeli itu karena sudah dibaca jutaan kali di Wattpad. Tema yang begitu mainstream, alur cerita yang klise, terlalu drama dan ending yang mudah ditebak. Setidaknya itu yang selalu dikatakan Agni tiap kali mengomentari novel yang kubaca. Bahkan dia sampai menyinggung soal bolong logika dan karakter tokoh yang tidak konsisten.

“Ikut aku! Biar kupilihin buku yang bagus untukmu.”

“Apa?”

Aku tak sempat protes lagi karena Arion tiba-tiba menarik pergelangan tanganku mengikuti langkahnya. Ketika sampai di depan rak parenting, dia mendadak berhenti. Sebelah tangannya menyisir buku-buku yang hendak dipilihkan untukku. Sementara sebelah tangannya yang lain berganti menggenggam jemariku.

Sebetulnya ini terkesan romantis. Dia memilihkan buku yang bagus untukku sembari menggenggam jemariku. Namun, lirikan mata seorang ibu muda yang berdiri di sampingku malah membuatku merasa jengah sendiri. Seolah aku seperti anak TK yang harus dipilihkan buku-buku oleh orang tuanya.

“Buku ini cocok untukmu, Ta.” Arion menyodorkan buku tebal berjudul Prophetic Parenting; cara nabi mendidik anak, kepadaku.

Aku tertegun sejenak. Buku itu masih tertahan di tangan Arion karena aku tak kunjung menerimanya.

Setelah menyadari apa maksud di balik buku itu, tiba-tiba saja pipiku terasa memanas. Jika Arion memilihkan buku ini untukku, itu artinya dia menginginkan aku agar belajar ilmu parenting sebagai persiapan ketika kelak kami dianugerahi seorang anak.

Menyebut anak, entah mengapa malah membuat perutku seolah seperti dikerubungi puluhan kunang-kunang. Terasa menggelikan sekaligus menghangatkan.

“Bu-buku ini pasti berat isinya, Bang. Nanti ... hm ... kepalaku malah pusing kalau baca itu,” tolakku sedikit gugup.

Yang kukatakan memang benar. Aku tidak terbiasa membaca buku-buku seperti itu, apalagi yang bahasanya terlalu berat. Kuharap Arion bisa memahami kapasitas otakku yang berada di bawah rata-rata ini.

“Belum dibaca kok sudah bilang berat, sih? Nanti kalau dibiasakan, kamu bakalan suka sama bacaan seperti ini, Ta.”

Aku menggeleng. “Buku-buku yang dikasih sama orang misterius itu aja sampai sekarang nggak pernah kubaca. Gimana mau baca kalau baru baca dua lembar aja udah bikin ngantuk.”

“Orang misterius?”

Aku baru menyadari jika aku keceplosan. Spontan aku menutup mulut dengan sebelah tangan yang masih memegang novel.

Sebulan sebelum hari pernikahan tiba, ada seseorang yang mengirimiku satu kardus buku motivasi. Entah siapa pengirimnya, aku tidak tahu karena dia tidak menyertakan namanya.

“Aku mau milih novel dulu. Abang bisa pilih sendiri buku yang mau Abang beli. Nanti aku juga bakal bayar sendiri, kok.”

Aku segera melepas genggaman tangannya, lalu kembali berjalan menuju rak fiction. Kuharap dia tidak bertanya siapa orang misterius itu. Sampai sekarang, aku bahkan tidak tahu siapa dia.

Arion ternyata tidak mengikutiku. Dia membiarkanku memilih novel-novel yang menjadi incaranku. Setelah mengambil empat novel, kakiku bergerak menuju rak best seller. Mataku menyipit ketika melihat novel yang tengah booming karena viral di media sosial berada di jajaran rak paling atas.

Tanganku meraih novel bergambar perahu yang terdampar di sebuah pulau berlatar langit senja itu pelan-pelan.

Tahun Kedua karya Safia Ayu.

Semula, nama Safia Ayu begitu asing untukku. Dari Agni, aku akhirnya tahu jika penulis novel itu ternyata adalah kakak ipar Yuris.

Aku membalik buku itu untuk membaca blurb-nya. Meski viral, aku tidak tertarik mengikuti ceritanya. Tema orang ketiga, apalagi sampai menyebabkan perceraian hanya akan membuat hatiku ngilu.

Tiba-tiba saja bayangan Shenina kembali berkelebat dalam pikiranku.

Aku mendesis pelan. Kenapa juga si Nini itu masih muncul di otakku? Sejak dia berani membohongiku, aku berusaha menghilangkan bayangannya dari pikiranku. Aku tidak ingin membawanya dalam rumah tangga kami. Sekilas yang hanya berkelebat pun aku tak mau.

Aku memilih memercayai Arion. Bagaimana dia memerlakukanku sebagai istri, rasanya sungguh bodoh jika aku terus-menerus terjebak pada prasangka yang malah membuat hatiku sakit sendiri.

“Sudah selesai milih novelnya?”

Aku sedikit tersentak ketika Arion sudah berada di sebelahku. Saat aku menoleh kepadanya, dia membawa tiga buku, salah satunya adalah buku yang tadi disodorkan untukku.

“Abang jadi beli buku itu?”

Dia mengangguk. “Nanti aku bantu kamu baca buku-buku ini.”

“Apa?”

Dia mau membacakan buku itu untukku? Seperti anak balita yang dibacakan buku oleh ayahnya, begitu maksudnya?

Ish, ada-ada saja!

“Abang nyindir aku?” Aku yakin dia hanya menyindirku. Dia tidak mungkin punya waktu sampai  membacakan buku berjumlah ratusan halaman untukku.

“Sini! Biar kubawa sekalian.”

Arion tidak menanggapi ocehanku. Dia hendak mengambil empat novel yang berada dalam dekapan tangan kiriku. Namun, aku menahannya. “Nanti aku yang bayar sendiri novelnya. Biar Abang nggak banyak protes.”

“Siapa yang protes, sih?” Arion tidak menghiraukan penolakanku. Dia tetap mengambil alih empat novel dalam dekapanku.

“Jadi, Abang nanti yang bayarin novelku?”

“Memangnya selama ini aku biarin kamu bayar sendiri pas kita keluar bareng kayak gini?”

Aku hanya nyengir garing. Meski aku punya uang—penghasilan dari endorse dan menjadi model beberapa produk muslim—dia tidak pernah membiarkanku membayar sendiri barang atau makanan yang kubeli saat kami keluar bersama. 

“Itu sekalian nggak?” Dagunya mengedik pada novel “Tahun Kedua” yang masih kupegang di tangan kananku.

Aku berpikir sebentar untuk menimbang-nimbang. “Boleh, deh.”

“Ternyata tebakanku nggak salah, kan?”

Aku mencebik seraya meletakkan novel itu di atas tumpukan buku yang dibawa Arion. “Emang Abang tahu isinya apa?”

“Cuman nebak saja.”

Aku mendecih pelan. Lalu, tersenyum geli sendiri ketika dia beranjak mendahuluiku. Aku bisa membayangkan bagaimana reaksi petugas kasir ketika melihat CEO KelasSeru sampai rela membawakan—dan membelikan—novel Wattpad yang sudah dibaca sepuluh juta kali.

TBC

***

Part lanjutan bakalan di-up sebentar lagi, ya.

Not a Dreaming Marriage (Completed)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu