Tujuh (2)

156K 15.6K 937
                                    

Ponsel di dalam tasku berbunyi. Buru-buru kuseka lelehan hangat yang membasahi pipi itu kasar. Alisku bertaut saat ponsel sudah berada dalam genggamanku. Nama “Abang” muncul di layar.

Kenapa dia nelepon aku?

Aku menggeser tanda hijau ke atas.

“Tadi, kamu ke kantor?” Pertanyaan itu langsung menyerbuku setelah aku mengucapkan salam. Bahkan, dia baru menjawab salam setelah bertanya.

“Dari mana Abang tahu kalau aku ke kantor?” Mungkin Shenina yang memberitahunya. Biarpun sudah tahu jawabannya, tidak ada salahnya aku bertanya lagi. Sekadar mengecek bagaimana dia nanti akan menjawabnya.

“Tadi, Ghandi sempat melihatmu naik taksi di depan kantor.”

Aku terkejut. Ternyata bukan Shenina yang memberitahunya. Tentu saja dia tidak akan mengatakannya pada Arion, apalagi sampai menjelaskan, aku ke kantor membawa bekal makan siang.

“Terus kenapa kamu nggak jadi ke kantor?” Arion kembali bertanya.

“Tadi, kan, Abang lagi nggak ada di kantor. Makanya, aku balik lagi,” kataku pelan. Berusaha membuat nada suara sebiasa mungkin agar tidak terdengar seperti menahan tangis.

“Kata siapa aku nggak ada di kantor? Dari tadi aku malah belum keluar sama sekali, kecuali pas shalat di mushola kantor.”

Aku menegakkan tubuh. Mataku menajam mendengar penuturannya ini. “Jadi, Abang nggak keluar kantor?” tanyaku memastikan lagi.

“Hm.”

Aku tergemap. Jadi, Shenina membohongiku? Kenapa Shenina yang kukenal begitu anggun itu sampai berkata bohong kepadaku? Apa keberadaanku di sisi Arion benar-benar mengancam posisinya?

Aku menahan geram.

“Ta? Kamu masih di situ, kan?”

Suara Arion mengalihkan kekesalanku pada Shenina. Kini rasa kesal itu terganti dengan senyum semringah.

“Abang!” Saking girangnya, suaraku terdengar lebih keras. “Abang belum makan siang, kan?”

“Belum. Tapi, tadi Ghandi mau belikan sekalian.”

“Kalau gitu bilang sama Bang Ghandi nggak usah pesenin.”

“Memangnya kenapa?”

“Pokoknya Abang tunggu aku.”

Aku segera mengakhiri telepon setelah mengucap salam. Senyumku yang sedari tadi terbit tiba-tiba melenyap setelah menyadari sesuatu.

Kutepuk keningku berulangkali. Baru saja aku berbicara soal ikhlas. Dan sekarang Allah mengujiku lagi. Ternyata sulit bagiku menganggap ikhlas itu seperti buang air besar di sungai seperti kata Papa.

“Kenapa, Mbak?”

Aku melirik pada sopir. Pria paruh baya itu tengah menatapku lewat kaca tengah.

Aku meringis. Lalu, mengerling pada lunch bag yang berada di jok sebelahnya. “Hm ....” Aku bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin makanan yang sudah kuberikan kepadanya kuminta lagi.

Tapi, kalau nggak kuminta, gimana aku mau ngasih makan siang ke Abang? Kalau kubelikan, kan nggak jadi spesial?

Aku semakin galau.

“Tadi kalau saya nggak salah dengar, abangnya mbak ada di kantor, ya? Berarti mbak bisa kasihin kotak makan itu sama dia dong?”

Aku nyengir. “Iya, tapi kan—”

“Itu milik mbak. Silakan ambil lagi. Kasihin sama dia, ya. Dia pasti seneng dimasakin sama mbak untuk pertama kalinya.”

“Bapak ... hm ... beneran nggak apa-apa kalau makanannya saya ambil lagi?” tanyaku hati-hati. Aku merasa tidak enak hati jika makanan itu harus kuambil lagi.

Not a Dreaming Marriage (Completed)Where stories live. Discover now