Sepuluh

178K 16.2K 1.4K
                                    

Aku berdecak kagum ketika air mancur itu meluncur keluar membentuk sebuah tarian. Air itu terlontar dari sumbernya, berselang-seling dengan ketinggian berbeda-beda. Warna-warni sorot lampu memancar indah mengikuti setiap gerakan gemulai air itu. Gerak serasi antara sorot lampu dan air mancur membuat pertunjukan tari semakin menakjubkan. Instrumen lagu bertema perjuangan menggema mengiringi gerakan tari.

Pengunjung bersorak gembira ketika air mancur menjulang tinggi saat instrumen lagu yang kental dengan musik angklung itu terdengar menghentak. Suara tepuk tangan riuh bergema ketika proyektor menampilkan permainan hologram. Seekor burung mengepakkan sayapnya lebar-lebar, lalu terbang tinggi di tengah gerakan tari air mancur.

“Abang pernah dateng ke sini?” Aku bertanya pada Arion yang duduk di sebelah kananku. Suara sedikit kukeraskan karena instrumen lagu terasa menabuh-nabuh gendang telinga.

Dia tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan.

“Jadi, ini pertama kalinya Abang dateng ke sini?” tanyaku untuk memperjelas.

Dia mengangguk. “Aku malah baru tahu ada pertunjukan seperti ini di sini.”

Aku terlongo. Bagaimana bisa suamiku sampai tidak tahu ada pertunjukan air menari seperti ini di Lapangan Banteng? Mungkin waktunya itu terlalu disibukkan dengan pekerjaan sehingga dia jadi ketinggalan berita. Jangan bilang dia juga tidak tahu ada air mancur menari di Monas. 

“Berarti Abang harus bersyukur karena aku jadi orang pertama yang ngajakin Abang ke sini.”

Arion hanya menanggapi cicitanku dengan kekehan pelan.

Sepulangnya dari mengisi seminar, Arion menepati janjinya. Kami menghabiskan waktu dengan nonton film di bioskop. Lalu, makan di salah satu resto di mal. Kemudian, dalam perjalanan pulang, aku mengajaknya mampir ke sini.

Ini seperti sebuah kencan yang kuimpikan sejak dulu. Kencan dengan pasangan yang sudah halal untukku. Bersama lelaki yang kucintai.

Meski tidak ada adegan tangan saling bertautan atau aku yang bersandar di pundak Arion selama menonton film, aku sudah bersyukur dengan peningkatan hubungan kami. Bukankah dalam sebuah ayat, Allah akan menambah nikmat itu jika bersyukur? Mungkin setelah ini Arion akan terbiasa denganku sehingga hatinya pelan-pelan mulai terisi namaku.

Ada pepatah bilang, cinta akan tumbuh karena terbiasa, bukan?

Instrumen lagu berikutnya kembali mengalun. Kali ini, lebih pelan dari sebelumnya. Suara seruling menambah syahdu malam yang semakin merangkak.

Aku melirik Arion. Pandangannya fokus menatap lurus ke depan. Senyumku terbit ketika tiba-tiba pikiran ini terlintas sesuatu.

“Abang nggak nanya aku pernah ke sini atau nggak?”

Arion menoleh. “Hm?”

Dia sepertinya belum sepenuhnya mencerna yang kutanyakan barusan. “Aku pernah ke sini sama cowok.”

Aku hanya ingin tahu bagaimana reaksinya jika aku ke tempat ini bersama seorang lelaki, tiga bulan lalu. Apa dia akan cemburu?

Aku tidak tahu apakah dia cemburu atau malah bereaksi biasa saja. Arion hanya diam menatapku. Ekspresi wajahnya tidak terbaca. Jika di dalam novel, tokoh laki-laki akan kelihatan cemburu dengan pasangannya, saat ini aku justru tidak bisa melihat itu dari air muka Arion.

Aku tersenyum masam. Sepertinya aku terlalu berekspektasi yang berlebihan. “Aku ke sini ... hm ... sama Bang Gibran.”

Memangnya apa yang kuharapkan lagi? Dia tidak terlihat seperti pria yang tengah cemburu. Aku memilih menerangkan dengan siapa aku pergi ke tempat ini tiga bulan lalu ketimbang membiarkannya salah paham denganku. Ya, tentu saja aku ke sini bersama kakakku sendiri. Memang siapa lagi?

Not a Dreaming Marriage (Completed)Where stories live. Discover now