Sembilan

163K 15.8K 547
                                    

Sedekah vote-nya, Gaes. Tarangkeyu. 😘😘

***

"Menurutmu kalau kamu dapet award, kamu bakalan nyebutin siapa aja saat ngucapin terima kasih?" Aku bertanya pada Agni saat kami sudah berada di salah satu kafe di Plaza Indonesia. Setelah mengunjungi Muslim Fashion Festival di JCC, Agni mengajakku mampir ke sini.

Sebelum menjawab, Agni berusaha menelan habis apple pie yang baru saja dikunyahnya. "Kalau aku dapet award?" Dia menaikkan sebelah alisnya. "Tentu yang pertama adalah Allah, yang kedua Mama Papaku, dan yang ketiga suamiku."

Benar, kan? Harusnya jika Arion berniat menyertakan aku dalam ucapan terima kasih, aku berada di urutan ketiga.

"Tunggu!" Agni tampak menyipitkan matanya. "Kenapa kamu nanyain itu? Aku kemarin nonton Kak Arion di tivi. Apa jangan-jangan?"

Tak lama kemudian dia mendesis pelan. Telunjuknya lantas menuding tepat di dahiku. "Aku bisa menebak apa yang ada di pikiranmu sekarang."

Aku berdecak seraya menyingkirkan tangannya. "Apa sih?"

"Jadi kamu pikir Kak Arion nggak nganggep kamu ada karena dia nggak nyebut kamu waktu dia dapat award?" Agni tertawa dengan ekspresi bosan.

Aku hanya memandangnya kesal.

"Aku kasih tahu ya, Ta. Kita ini hidup di dunia yang penuh dengan realita. Kayaknya bacaanmu yang serba romance itu kudu dikurangi deh. Yang jelas, hal-hal kayak gitu bisa aja terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang sebenarnya." Agni menyeruput iced cappucino yang belum diminumnya sejak tadi. "Dua hari lalu aku sempet kesel sama Mas Ivan. Dia nggak jemput aku. Aku sampai nunggu dia lama. Kutelpon berkali-kali, tapi nggak diangkat. Aku akhirnya minta Yuris jemput aku. Untung dia ada di rumahnya."

Aku tertegun. Suami Agni yang kelihatan sempurna di mataku ternyata dia sampai tidak menjemput istri yang dicintainya.

"Lebih kesel lagi waktu dia pulang ke rumah, dia tetep biasa aja. Nggak ada perasaan bersalah sama sekali. Aku lagi kesel, eh ... dianya malah nggak peka."

Aku masih termangu dengan apa yang dikatakan Agni. Pepatah mengatakan, rumput tetangga selalu tampak hijau dari kejauhan. Kita lupa bahwa yang terlihat hijau itu bisa jadi ketika didekati ada lubang besar di tengahnya.

"Dia baru tahu waktu aku luapin semuanya. Mau tahu? Saat itu dia jawab apa coba?" Agni mendekat ke arahku. "Lu-pa. Gimana aku nggak makin kesel?"

Aku sampai terlongo. Bagaimana bisa Ivan yang terlihat begitu peduli dengan Agni sampai lupa menjemput istrinya?

Sebagai freelancer, Agni memang tidak setiap hari akan keluar rumah. Dia hanya akan pergi saat ada yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai content creator. Mungkin karena inilah yang membuat suaminya sampai lupa menjemput sang istri.

Tapi, hey ... ini yang dibicarakan adalah Ivan. Ivan yang selama ini tampak begitu perhatian dengan istrinya.

"Jadi, dalam berumah tangga itu yang paling penting adalah komunikasi, Ta. Biar kesel sekalipun, lebih baik luapin. Biar pasangan kita itu tahu apa yang bikin kita kesel sama dia. Jangan cuman diem aja, ujung-ujungnya malah sakit hati sendiri."

"Aku nggak sampai sakit hati karena Abang nggak nyebut aku," sergahku berusaha membantah.

Agni mengernyit tak percaya. "Masa?" Air mukanya seakan hendak menertawakan bantahanku. "Nggak sampai sakit hati, tapi galau semalaman," cibirnya seraya memandangku bosan.

Aku hanya mengerucutkan bibir menanggapi cibiran Agni.

Dia mendesah pelan. "Gini, ya, Ta. Sebagai pasangan, kita harus bisa memahami dan mengerti gimana pasangan kita. Contohnya pas Mas Ivan lupa nggak jemput aku. Sekesal-kesalnya aku sama dia, aku nggak sampai mikir kalau dia udah nggak cinta sama aku lagi. Aku tetep yakin, pasti ada alasannya. Dan bener. Setelah Mas Ivan jelasin semuanya, ternyata emang ada masalah di kantornya. Dia sampai ngecek ke pabrik. HP lupa dibawa, makanya telponku nggak diangkat."

Not a Dreaming Marriage (Completed)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon