"Momma."

Deg

Tiba-tiba saja dunia Riza hancur. Ia tidak bisa berkata-kata apalagi dan memegang dadanya yang terasa sesak. Enza dibuat panik dibuatnya. Ia pun berjongkok dan memeluk tubuh Riza. Thel sendiri telah berlari ke belakang Enza dan memeluknya. Meminta perlindungan dari Enza.

"Enza, jangan bilang ini—"

"Bukan, Mi. Dia bukan anak Enza. Dia adalah anak teman Enza. Enza hanya membantu dia buat ngasuh."

"Tapi, kenapa kamu tidak bertanya dulu sama Umi?"

"Maafkan Enza, Mi. Enza tidak sempat memberitahukan kepada Umi. Karena ini terjadi begitu saja. Awalnya Enza hanya bermain dengannya. Terus, pas Enza tinggal, dia malah nangis sambil terus manggil Enza momma. Sudah Enza bilang kalo Enza bukan ibunya.

Tapi, dia nangis terus dan gak mau pulang sebelum menganggap Enza sebagai ibunya. Enza juga sedih nglihatnya sampai batuk-batuk begitu. Jadi, Enza terima saja dan berpura-pura menjadi ibunya untuk sementara waktu." Enza menghela napas. Meraih kedua tangan Riza dan menggenggamnya erat.

"Mi, Enza mohon. Beri Enza waktu untuk bersamanya lebih lama lagi. Hanya untuk sementara waktu saja sebelum akhirnya dia bertemu dengan ibunya yang sesungguhnya."

Riza membisu. Berusaha untuk mengesampingkan egonya dan berpikir untuk jalan terbaik. Sesekali, ia melirik ke arah Thel yang terus memeluk Enza ketakutan. Ada rasa kasihan di dalam hatinya, ketika melihat wajah mungil Thel. Tidak salah memang mengaku dirinya sebagai seorang ibu. Tapi, bagaimanapun. Di setiap tindakan pasti akan ada resiko. Ia takut jika kehidupan Enza semakin susah nantinya dengan mengklaim seorang batita sebagai anaknya.

Tapi, ingatkah dia akan umur Enza yang tak lagi remaja. Kini, Enza telah berumur 24 tahun. Petanda ia sudah dewasa dan memiliki hak untuk membuat keputusannya sendiri. Berat memang. Tapi, sebagai orang tua, ia hanya bisa mendukung dan berharap inilah yang terbaik.

Dengan hati yang masih tidak rela, Riza pun mengulurkan tangan ke arah Thel. Menyambut batita itu untuk memeluknya erat.

"Sini, peluk Umi," ucap Riza sembari mengulurkan tangan. Thel menatap Enza meminta persetujuan. Dan Enza pun mengangguk sembari menitikkan air mata—terharu.

"Aduh, anak ganteng. Semoga kamu selalu menjadi anak yang sholeh ya, Nak."

"Aamiin."

"Kalo gitu, yuk masuk. Umi punya makanan enak buat Thel." Riza menggendong tubuh Thel dan membawanya menuju dapur.

Enza bangkit berdiri dan menatap Riza, lega. Ia pun mengambil koper Thel dan menutup pintu utama. Berjalan memasuki rumah dan berjalan melewati ruang keluarga. Di sana, ia bisa melihat Hasan yang masih menatapnya marah. Enza pun tidak memikirkannya dan terus berjalan naik ke lantai kamarnya. Membiarkan keadaan rumah tetap hening.

☕☕☕

Enza yang sedang asyik memainkan ponselnya pun dikejutkan dengan suara ketukan pintu dan seseorang yang sedang menanggil namanya. Ia pun bergegas meletakkan ponselnya dan berlari menuju pintu. Membukakan pintu tersebut sebelum akhirnya menampakkan Quinza tengah menggendong Thel yang terlihat asyik menguyah sebatang cokelat.

"Momma," panggil Thel sembari tersenyum. Enza menerima uluran Thel dan memeluknya erat. Mengelus punggung Thel sayang.

"Oh iya, Umi nyuruh kamu buat bikin susunya. Katanya, dia udah ngantuk. Jadi, kakak bawain air hangat ke kamar kamu." Quinza mengulurkan sebuah termos berisikan air hangat kepada Enza. Enza menganggukkan kepala dan menerimanya.

"Terima kasih, Kak." Quinza menganggukkan kepala dan beranjak pergi menuju kamarnya. Enza menutup pintu kamar dan mendudukkan Thel di sofa.

"Thel mau minum susu?" tawar Enza. Thel menganggukkan kepalanya bersemangat degan mulut yang belepotan cokelat. Enza menyunggingkan senyum dan meraih tisu basah di dekatnya. Mengelap jejak-jejak cokelat yang ada di mulut Thel.

Secangkir Kehangatan (END)Место, где живут истории. Откройте их для себя