"Nah, selesai juga. Kalo gitu, yuk kita turun," seru Enza senang. Thel pun merapatkan dirinya ke arah Enza. Melilitkan kedua tangan di leher dan memeluknya erat.

Enza membuka pintu mobil dan turun dari sana. Bersamaan dengan Freinz yang turun dari sisi kanan. Freinz pun mengunci mobil dan beranjak menuju pintu masuk. Dengan tangan menenteng tas perlengkapan Thel. Enza pun menyusul Freinz hingga ke loket pembelian. Menunggu Freinz yang tengah memesan tiket dengan wajah letih. Entah kapan ia bisa pulang. Rasanya, jiwa dan raganya tiba-tiba remuk redam setelah begitu lamanya pergi bersama kedua lelaki itu. Ia hanya ingin bergegas pulang dan merebahkan diri di kasur king size miliknya sembari menghabiskan waktu menontom film kesukaan.

"Kenapa? Kamu keberatan ikut bersama kita?"

Deg

Enza bersusah payah menelah salivanya. Setelah pertanyaan itu terlontar dari bibir manis Freinz. Kenapa pertanyaannya begitu tepat dengan suasana hatinya? Apakah memang benar kalau dia peramal? Ah, rasanya Enz harus lebih berhati-hati lagi ketika sedang berpikir. Lebih baik mengurung seluruh pemikirannya ketika bersama Freinz dan mengeliarkannya ketika sedang termenung sendiri di rumah.

Enza terseyum dan menggeleng. Berusaha untuk menghapus pemikiran negatif Freinz.

"Nggak kok, gue seneng bisa jalan bareng kalian. Apalagi kalo sama Thel. Bener-bener asyik deh. Iya, gak?" Enza menundukkan kepala. Berusaha mencari pembelaan.

Namun nahas, sosok yang dimintai pembelaan itu pun tampak mengerutkan kening. Tidak paham akan pembahasan mereka.

Sial! Kenapa mereka bisa berkompromi seperti ini? Bener-bener deh, mirip keluarga kandung mereka. Sampe-sampe, diajak bohong demi mengalahkan ayahnya saja dia menolak. Cih.

Freinz menaikkan kedua alisnya.

"Kenapa? Tidak punya pembelaan?" Enza terdiam. Tak berniat menjawab.

"Cih, makannya jangan ajari dia berbohong! Karena dia tidak akan mempan. Yuk, Son." Tangan Freinz terulur ke arah Thel. Thel menatap uluran tangan Freinz lama. Sebelum menerima uluran Freinz dan digendong sang ayah. Enza menghela napas. Merasa bersalah akan segala yang sejak tadi ia pikirkan. Penilaian buruk tentang keluarga kecil ini. Membuat hatinya tiba-tiba saja merasa sesak.

Tepat di saat Freinz masuk melewati tempat penukaran tiket, Enza segera menyusul dan memanggilnya.

"Freinz," panggil Enza lirih. Freinz berhenti. Namun, tidak berbalik.

"Maafin gue buat yang tadi gue ...."

"Saya tahu kalo keluarga kami itu buruk! Jadi, kamu tidak perlu menjelaskan itu kepada kami. Cukup mendampingi Thel dan pergi setelah Thel tidak ingin menerimamu lagi. Kamu bisa mencari lelaki lain yang sesuai umur dan kriteriamu. Bukan seorang pria purba beranak seperti saya. Yang dimana banyak sekali yang enggan untuk menerima anak kecil seperti dia. Hanya memikirkan harta kekayaan saja tanpa tahu arti kebahagian sebenarnya."

Enza tertegun sebelum tersenyum miris. Jujur, ia tak bermaksud untuk menjelek-jelekkan Freinz. Ia sendiri yang salah paham kepadanya. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Freinz acuh tak acuh dan kembali berjalan. Mengikuti arahan Thel yang sedari tadi mengoceh di gendongannya. Enza menegakkan tubuh dan segera menyusulnya. Membujuk Thel agar pindah gendongan bersamanya.

"Thel, c'mon! Dadda pasti lelah. Sama Momma aja yuk," bujuk Enza dengan tangan terulur.

"Tidak perlu! Saya masih kuat. Terima kasih," ketus Freinz. Berjalan semakin cepat dari hadapan Enza. Enza menghela napas lelah dan berjalan terus. Mengamati punggung seorang ayah yang tengah tersenyum bahagia bersama sang anak. Tanpa memedulikan keadaan sekitar.

Secangkir Kehangatan (END)Where stories live. Discover now