"Astagfirullah, itu tidak sopan Enza!" amarah Hasan menjadi-jadi. Riza yang mendengar pertikaian dari Ruang Tamu pun dengan cepat menghampiri sumber suara.

"Ada apa?" tanya Riza kebingungan. Tatapan Riza pun beralih ke arah Enza.

"Ya Allah Enza, kamu mau ke mana? Kok pakaiannya kayak gitu."

"Apa yang Abi bilang! Enza itu sudah keterlaluan Umi! Enza perlu untuk pondok. Agar—"

"Gak, Bi! Nggak! Enza gak mau. Enza mau pergi dulu. Capek tau dengerin ocehan kalian." Enza melenggang pergi meninggalkan Hasan dengan amarah yang kian membara.

Tiba-tiba saja, Hasan terbatuk dengan tangan yang menepuk-nepuk dadanya. Ia pun merasakan sesak yang luar bisa ketika napasnya menghimpit. Riza tersadar dan segera menuntun Hasan untuk duduk.

"Astagfirullah, Abi. Tenangin diri Abi dulu. Banyakin istigfar, jangan emosi terus."

"Gimana gak emosi, Umi? Enza anak kesayangan kita tak kunjung berubah. Abi sendiri sudah sangat lelah memberitahukan Enza terus-menerus. Dan yah, mungkin umur Abi tidak lama lagi."

"Astagfirullah, Abi. Jangan bilang gitu. Abi harusnya selalu semangat dong untuk menambah amalan di dunia ini. Jangan berpikir lain deh."

"Bukan berpikiran lain Umi. Abi hanya mengingat bagaimana Allah mengambil nyawa para hambanya dengan tidak disangka-sangka. Bukannya kita harus menyakini jika kematian itu ada. Dan kita juga harus menyiapkan diri jika ajal kita akan dijemput kapan saja."

"Iya Bi, tapi—"

"Sebaiknya kita mempersiapkan diri dari sekarang Umi, sebelum kita menyesal nantinya." Riza menghela napas dan mengangguk.

"Iya, Abi. Kalo gitu, kita Salat Dhuha yuk." Hasan tersenyum dan mengangguk. Ia pun bangkit dari sofa dan berjalan menuju Tempat Wudhu dengan bantuan Riza, sang istri tercinta.

☕☕☕

Di lain tempat, Freinz terbagun dari alam mimpinya. Ia pun mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang menembus ke kedua retina biru miliknya. Freinz meregangkan otot dan menoleh ke arah samping kirinya. Menemukan sang anak sedang tertidur dengan wajah sangat damai. Membuat ia tak tega untuk sekedar mengusik mimpi sang anak maupun membangunkannya. Mungkin, ia terlalu lelah.

Tak mau menganggu ketenangan Thel, Freinz memilih untuk mandi terlebih dahulu dan membiarkan Thel yang sedamg bergelut di alam mimpi. Tak butuh waktu lama, Freinz keluar dari kemar mandi dengan tubuh yang sangat segar. Otot-ototnya tampak terpampang jelas tanpa adanya sehelai kain yang menutupinya.

Tiba-tiba saja pikirannya jatuh kepada jadwal meeting yang menumpuk dan beberapa berkas yang terbengkalai serta menumpuk memenuhi meja kebesarannya. Freinz pun berjalan ke arah nakas dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Meraih ponsel dan menelpon seseorang untuk ia berikan amanah.

"Halo, Robert," panggil Freinz ketika panggilan mereka terhubung. Ya, lagi-lagi ia menelpon Robert, general manager Perusahaan Orlandz.

"Iya, Tuan. Ada apa?" tanya Robert to the point.

"Bisakah kau menggantikan saya untuk meeting hari ini? Oh, iya, untuk berkas, kau bisa mengirimkan berkas-berkas penting itu ke apartemen saya. Tapi—" Belum selesai Freinz menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja suara tangis batita mengacaukan obrolan mereka.

Thel terbangun dari tidurnya dengan mata yang penuh dengan air mata. Tak hanya itu, hidung mungilnya pun juga memerah dengan lendir yang memenuhi lubang hidung batita mungil itu. Dengan sigap, Freinz mengulurkan tangan ke arah Thel dan batita itu pun menerimanya dengan senang hati. Pastinya dengan napas tersenggal-senggal dam tangis yang tak kunjung berhenti.

Secangkir Kehangatan (END)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें