"Dadda, kita mau apa?" celat Thel heran. Menatap paras tampan sang papa. Freinz tak menjawab pertanyaan sang anak. Ia justru menggendongnya yang sontak mendapatkan penolakan.

"Hua ... No, Dadda. Thel gak mau ndong."

"Sstt ... Shut up, Baby! Or you will fall," terang Freinz membuat Thel terdiam dengan bibir mengerucut. Siap untuk menangis lagi.

"Dadda—"

"Hai, bocil unyu," sapa seorang wanita yang datang menghampiri keduanya.

Wanita itu tampak mencium kedua pipi gembul Thel, membuat Thel tersenyum senang. Sontak, Thel mengulurkan kedua tangannya ke arah wanita itu. Wanita itu menerima uluran Thel dengan senang. Hingga ia tak sadar jika seseorang tengah menatap kehangatan di antara mereka.

"Ekhem," deham Freinz. Wanita itu menoleh dan terdiam.

"E–Elo? Lo kok di sini?" tanya wanita yang tak lain adalah Enza. Freinz menghela napas dan menunjuk Thel menggunakan alisnya. Enza menukikkan alis bingung. Apa maksudnya?

"Dadda," panggil Batita itu sembari bertepuk tangan girang. Enza beralih menatap Freinz heran.

"Jadi, ini anak lo?" tanya Enza ke arah Freinz. Freinz mengangukkan kepala.

"Lalu, ke mana istri lo?"

"Single," singkat Freinz. Enza melongo mendengarnta. Kalo dia single, ini anak siapa?

"Dia batita yang saya temukan di Jerman," jelas Freinz dengan kedua tangan menutup telinga Thel.

Takut jika ia bertanya hal-hal yang aneh nantinya. Enza membelalak dan menatap tak percaya ke arah Thel. Padahal, wajah mereka sangatlah mirip dari segi manapun. Terkecuali, warna rambut yang mereka punya.

"Gak percaya? Ya sudah," acuh Freinz sembari merebut Thel dari tangan Enza.

Namun, batita itu menolak dan justru mengeratkan cengkeramannya di leher Enza. Dengan wajah yang ia tenggelamkan di ceruk leher Enza. Membuat Enza terkejut.

"Son, c'mon! Follow Dadda."

"No Dadda no," tolak Thel sembari menggelengkan kepala di ceruk leher Enza. Berteriak hingga akhirnya menangis. Membuat pengunjung di sekitar terheran-heran akan tingkah ketiganya.

"Aduh, Bu. Kalau anaknya nangis itu ditenangin dong, jangan dibiarin. Masa tega sih membuat anaknya nangis," kritik seorang Ibu yang berlalu lalang.

Enza menunduk malu dan begitu pula Freinz. Mereka pun memutuskan untuk duduk di suatu tempat yang dekat dengan Ruang Barista. Enza menepuk-nepuk bokong Thel, berusaha untuk menenangkan batita itu. Freinz sendiri hanya bisa melihat interaksi di antara keduanya hingga akhirnya memutuskan untuk memainkan ponsel.

"Sstt ... Don't cry, Baby. Aunty in here," tenang Enza. Perlahan, tangis Thel berhenti. Thel mendongak dan menatap Enza sendu.

"Momma," panggil Thel dengan suara pelan. Enza terbelalak. Apa? Momma? Yang benar saja! Dia kan masih muda.

"Eh, bu—"

"Momma huaaa ...," tangis Thel menjadi-jadi. Membuat siapa saja yang melihatnya iba. Freinz merebut Thel dari gendongan Enza. Namun, Thel menolak Freinz dengan teriakan histeris. Mengundang atensi dari para pengunjung.

"Don't cry, Baby. Aunty in here," ulang Enza.

"No ... Thel want Momma. Not Aunty," rengek Thel. Enza terdiam dan menghela napas. Berusaha untuk bersabar dalam menghadapi tingkah Thel.

Secangkir Kehangatan (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora