28. Dia Kembali

124 18 4
                                    

Selamat Membaca—

Salah paham, kurang pengertian, minim akan penjelasan. Tiga faktor yang kerap kali menciptakan perselisihan .Membuat ruang itu kian renggang, membuka akses untuk yang lainnya datang. Yang bisa saja menjadikan masalah semakin runyam.

Bagaimana cara memperbaiki?

Pahami, menjadi sosok yang lebih mengerti, bahwa orang lain mempunyai alasan sendiri yang mungkin saja masih tersembunyi.

***

Bel pulang telah berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu. Lingkungan SMA Buana Bestari berangsur-angsur mulai menyepi. Hanya tersisa beberapa siswa dan siswi yang mempunyai kegiatan lain ataupun melaksanakan jadwal piket. Winter adalah salah satunya dan berada di opsi kedua. Gadis berambut keriting panjang itu kini tengah menyapu lantai kelas X Bahasa 3. Winter tidak seorang diri, ada empat teman sekelasnya, dan juga Mauza yang memang satu jadwal piket dengannya.

"Ayo pulang," ajak Winter sembari menggendong tas cokelat kopinya di balik punggung kecil, kepada Althaf yang duduk di kursi panjang depan kelas.

"Udah selesai memangnya?" Manik hitam kelam Althaf melirik ke arah pintu kelas sekejap, seolah menunggu sesuatu.

Winter menganggukkan kepalanya dua kali. "Udah. Cuma tinggal Mauza, lagi beresin alat tulisnya," sahut gadis itu pelan. Antisipasi kalau-kalau suaranya terdengar oleh Mauza yang berada di dalam kelas.

"Tunggu bentar, deh, gue beresin game ini dulu, ya. Tanggung banget, Win," kekeh Althaf lalu memusatkan atensi ke gawainya kembali.

"Ih, entar aja, Altapir. Anterin aku pulang dulu." Winter tampak mulai jengkel. "Aku bilangin kak Sam kalau kamu enggak amanah, nih. Kak Sam pasti marah dengar kamu enggak langsung mulangin aku," sambung gadis itu mulai mengancam.

Winter mendengkus kesal ketika Althaf justru mengedikkan kedua bahunya tak acuh. Gadis itu menyempatkan diri untuk menendang tulang kering Althaf sebelum beranjak duduk di samping pemuda itu.

"Sakit, Win, astaga. Jahat bener lo sama temen," gerutu Althaf mengaduh. Mendengar hal itu, kedua netra cokelat terang Winter berotasi, terlalu malas menanggapinya lebih lanjut. Memang Althaf pikir hanya pemuda itu yang bisa tak menghiraukannya.

Dua remaja itu akan tetap didekap oleh keheningan jika saja sebuah suara tak hadir di antara mereka. Bukan suara dari Winter maupun Althaf. Melainkan suara dengan pemiliknya yang sudah cukup lama berjarak dengan mereka.

"Winter," panggil sosok itu yang tak lain adalah Mauza.

Gadis berambut keriting panjang yang semula bergeming sembari mengerucutkan bibirnya itu sontak tersentak. Winter masih pada keterkejutannya ketika Althaf justru membuka kata.

"Nah, kalau gitu, gue duluan, ya, Ciway-Ciway," tutur Althaf setelah menyimpan gawainya di saku celana.

"Terus, aku pulangnya gimana?"

Althaf mengulas senyum lebar. "Gue tunggu di parkiran, Win. Enggak bakal gue tinggal, kok." Tangan pemuda itu mengusap puncak kepala Winter yang langsung saja ditepis oleh Winter. Pasalnya, ada Mauza di sini, Winter harus menjaga perasaan sahabatnya yang satu itu.

Winter mengernyitkan dahi sesaat melihat Althaf mengangguk sekilas kepada Mauza, setelahnya pemuda itu berjalan menjauh dari sana. Winter seperti anak hilang yang tak tahu berada di mana. Ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Bagaimana bisa Mauza tiba-tiba menghampiri? Ingin melabraknya karena Winter tetap nekat berdekatan dengan Althafkah? Akan tetapi, rasanya mustahil. Dilihat-lihat, Mauza tampak baik-baik saja, tenang. Namun, seakan hendak mengutarakan sesuatu.

Winter in LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang