22. Pertengkaran

87 25 10
                                    

-Selamat Membaca-

Bukan tentang melupakan, tapi mengikhlaskan. Menjadikannya pengajaran dan memperbaiki pribadi agar lebih pandai menerima keadaan. 

***

Tepat di saat Winter terkejut akan kedatangan mamanya yang tiba-tiba, ayam bakar bukan lagi sesuatu yang menarik untuknya. Karena, kini organ jantungnya saja berpacu begitu cepat. Selama dilahirkan dan hidup 16 tahun, ia tak pernah menemukan Shamora sampai semarah itu. Malam ini, lebih parah dari di mana ia mencoba berbicara dengan mamanya mengenai Aleta malam hari itu.

Shamora berjalan cepat memasuki ruang rawat inap Aleta. Wajahnya kian memerah karena amarah yang memuncak, kedua tangannya mengepal kuat. Bukan ke arah Winter, melainkan Aleta. Demi melihat hal itu, Winter segera beranjak dari tempat duduknya. Begitu pula dengan Ammar yang langsung berdiri siaga.

"Kamu memang benar-benar enggak tahu diri, Aleta! Sekarang kamu memperalat anakku juga agar rencanamu berjalan mulus, iya? Masih merasa enggak cukup dengan apa yang kamu lakukan di masa lalu?!" sentak Shamora menatap murka Aleta yang terbaring di brankar.

Ammar dengan lekas mencegah Aleta ketika wanita yang masih tampak ringkih itu memaksakan diri untuk bangun dari posisi tidurnya. "Tiduran aja, ya, Ta."

Melihat itu sontak saja Shamora berdecih, "Lemah. Aku baru ingat kalau orang yang saat ini enggak berdaya sama sekali adalah orang yang berusaha merusak kebahagiaanku dahulu." Satu sudut bibirnya terangkat membentuk seringai. "Kena karmanya juga, 'kan, kamu? Bagaimana rasanya? Sudah berteman akrab dengan penyakitmu?"

"Shamora, berhenti. Jangan keterlaluan dengan adik kamu sendiri."

"Keterlaluan bagaimana, Kak Ammar?" Shamora menatap kakak tertuanya itu. "Lantas, kalian pikir yang kalian lakukan di masa lalu itu enggak keterlaluan denganku? Mencoba memisahkan aku dengan mas Zavier, lalu menjodohkannya dengan wanita pengkhianat ini. Itu Kak Ammar sebut enggak keterlaluan?"

Sementara Ammar menggusah napasnya kasar. Aleta berkata, "Kak Sha, tolong. Kak Sha salah paham sama aku, apa yang ada di pikiran Kak Sha selama ini, bukan itu kebenarannya." Rasa nyeri di perutnya kembali menghampiri. Untuk kali ini, Aleta tidak berhasil menyembunyikannya. Ringisan yang terdengar dari Aleta membuat Ammar dan Fawwaz melarang wanita itu kembali bersuara.

"Shamora, kita bicarakan ini sambil duduk di sana saja, ya," ucap Ammar, sembari menunjuk sofa panjang di mana hanya ada Althaf seorang diri di sana. Berperan layaknya penonton sebuah drama.

Perkataan Ammar langsung ditolak mentah-mentah oleh Shamora. "Aku ingin kita membicarakannya di sini. Selesai di sini juga."

Ammar tampak mengurut pelipisnya. "Aku tahu kamu keras kepala, Sha, tapi enggak menyangka kalau watak buruk kamu ini makin menjadi-jadi."

"Kak Ammar enggak sadar? Kalian sendiri yang membuat aku berujung keras seperti ini."

"Bukan kami, Shamora. Itu semua kembali ke diri kamu sendiri. Kamu terlalu menutup diri untuk benar-benar menerima. Aleta adikmu dan hanya karena kejadian di masa lalu, kamu enggan memaafkannya. Memberi maaf yang bahkan bukan ia yang berbuat salah." Ammar mencoba memberi pemahaman.

"Kalau Kak Ammar dengan gampangnya menyuruhku berdamai dengan Aleta, kenapa Kak Ammar enggak mencobanya terlebih dahulu dengan kak Arayyan?"

Winter in LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang