12. Dekat Lalu Berjarak

108 41 22
                                    

-Selamat Membaca-

Nyatanya, selalu 'dekat' tidak menjamin 'jauh' itu akan tiada.

***

Bunyi gesekan sepatu beberapa siswa kelas X Bahasa 3 yang berlawanan dengan lantai lapangan terdengar berisik ketika mereka mengambil langkah cepat untuk mengejar dan mengoper bola basket. Terhitung hampir satu jam lamanya mereka saling adu kemampuan dalam olahraga basket di lapangan indoor.

"Oper ke gue, Thaf!" seru salah satu cowok yang merupakan teman sekelasnya, ketika Althaf yang memegang bola besar berwarna oranye itu malah terdiam.

"Gue udahan, deh," cetus pemuda itu tepat setelah melempar bola basket tadi ke arah temannya.

"Ah, enggak asyik lo, Thaf!" gerutu beberapa dari mereka yang termakan rasa kesal karena tingkah seenaknya Althaf. Yang dituju hanya cengengesan, lantas mengedikkan bahu tak peduli.

Gerak kaki Althaf melangkah menuju tribun. Menghampiri seorang gadis yang duduk termenung dengan telapak tangan menopang dagu kecilnya. Pandangannya memang mengarah ke depan, akan tetapi tatapan netra cokelat terang itu kosong. Bahkan, Winter tidak menyadari kehadiran Althaf yang kini hanya berjarak dua langkah darinya.

"Kenapa lo, ngelamunin gue, ya?" ujarnya, setelah Althaf beranjak duduk di samping gadis itu.

Sempat terjengkit sejenak, sebelum akhirnya Winter berdecak kesal. "Ngagetin aja, sih!"

Althaf terkekeh kecil. "Mauza ke mana?" tanya pemuda itu ketika menyadari salah satu sahabatnya tidak ada di sana.

"Udah ke kelas duluan tadi," sahut Winter seadanya.

"Tumben," gumam Althaf sebelum kemudian pemuda itu berdiri dan menarik tangan Winter untuk mengikuti langkah kakinya yang bergerak maju. Beranjak keluar dari lapangan indoor.

Gadis dengan tubuh tidak lebih 150 sentimeter itu menurut saja ketika ternyata Althaf membawanya menuju kantin. Lagi pula jika ia berontak lalu memilih ke kelas, ia pasti bingung dan terjebak oleh rasa canggung yang tiba-tiba menyergapnya saat bertemu Mauza nantinya. Winter masih tidak mengerti ada apa dengan sahabatnya yang satu itu.

Berbagai pertanyaan kini menggantung di ruang kepalanya. Memunculkan beragam spekulasi yang berujung membuatnya bingung sendiri.

"Ngelamun terus lo!" Sebuah jitakan kecil mendarat di kepala Winter. "Mau makan apa? Kali ini lo bayar sendiri, ya. Bokek, nih, gue," sambung Althaf beruntun.

"Bokek, kok, ngajak ke kantin," sungut Winter seraya mengusap dahi atasnya. Tidak sakit sebenarnya hanya terasa nyut-nyutan sedikit.

"Gara-gara lo sama Mauza ini yang terus-terusan minta traktiran, mewek, 'kan, dompet gue," ungkit pemuda itu.

Ah, ya, Mauza. Winter jadi kepikiran sahabatnya itu. Apa Mauza sudah makan di kelas atau belum sama sekali? Biasanya mereka akan menghabiskan waktu istirahat bersama.

"Kalau yang aku denger di ceramah biasanya, sih, orang yang suka mengungkit kebaikan enggak bakalan dapet pahala. Kebaikan yang dilakukan bakalan berujung sia-sia," balas gadis itu lalu memilih duduk di salah satu meja kantin yang masih kosong. Althaf mengikuti pergerakan Winter.

Masih tersisa beberapa menit lagi untuk bel istirahat berbunyi membuat meja-meja kantin belum seluruhnya berpenghuni.

"Iya, deh, iya. Namanya juga Win-Win, selalu pengin menang. Cepat, mau makan apa lo?"

Winter in LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang