24. So That's the Cause

87 24 12
                                    

Selamat Membaca—

Selama masih menghirup oksigen dan mengembuskan karbondioksida di dunia ini, akan selaku ada kejutan-kejutan yang berdatangan. Bisa saja dalam bentuk jawaban atas pertanyaan. Juga alasan yang sudah lama disembunyikan.

***

Winter kembali melongokkan kepalanya sedikit. Menatap papanya yang duduk di kursi jati di teras rumah. Gadis yang sedang berdiri di sisi pintu itu tahu bahwa Summer berbohong pasal orang tuanya yang telah berhenti bertengkar ketika ia tanya malam hari itu. Winter dapat mengetahuinya ketika Shamora lagi-lagi berangkat kerja di pagi hari--bahkan sebelum ia bangun dan sama sekali tak mengabarinya. Juga ada yang berbeda dengan papanya, Zavier lebih banyak diam sejak sarapan tadi pagi hingga makan malam hari ini.

Winter merasa ia harus meminta maaf. Karena, secara tak langsung ia adalah pemicu pertengkaran orang tuanya. Winter yang memaksakan kehendak untuk menjenguk Aleta dan memutuskan untuk berbohong pada mereka.

"Papa?" panggil Winter. Gadis itu menggerutu dalam hati merasakan panggilannya yang terlalu pelan.

Jauh di luar dugaan, rupanya Zavier mendengarnya. Pria itu tersenyum hangat kepada Winter. "Sini duduk di samping Papa, Winter."

Winter menurut, duduk di kursi jati satunya yang berada di sebelah Zavier.

"Ada yang mau kamu omongin?" tanya Zavier usai menyesap kopi hitam miliknya.

Si objek pertanyaan belum menampakkan tanda-tanda akan menjawab. Winter menatap kedua kakinya yang memakai sandal tidur teddy bear hingga akhirnya memilih berkata, "Winter minta maaf, Pa. Gara-gara Winter, mama sama Papa jadi berantem kemarin. Padahal mama jarang pulang, seharusnya Winter enggak melakukan sesuatu yang bikin mama marah. Seharusnya Winter enggak bohongin mama dan Papa. Maafin Winter, ya, Pa."

Zavier mengulas senyumannya. Pria itu mengelus lembut puncak kepala Winter dengan kasih sayang. Putri kecilnya yang tak terasa sudah menginjak remaja. Dan selama tumbuh kembangnya itu pula, Winter jarang menghabiskan waktu dengan sang mama. Membuat sebagian relungnya diburu nyeri atas rasa bersalah.

"Bukan sepenuhnya salah kamu, Winter." Winter dapat melihat tatapan hangat dari cinta pertamanya itu. "Sebenarnya, Papa sudah tahu jika kamu rutin menjenguk Aleta, sebelum Ammar menelepon Papa, memberi tahu bahwa kamu dan mama tengah berada di rumah sakit malam hari itu."

Winter ternganga. "Ada yang ngasih tahu Papa selain om Ammar-kah?"

Zavier terkekeh ringan, pria itu menyesap kopinya kembali. Dan yang membuat Winter sebal adalah papanya itu sengaja untuk membuatnya menunggu.

"Kalau Papa boleh jujur, sifat kamu itu persis dengan apa yang dimiliki oleh mama kamu. Ambisius. Papa yakin kamu enggak akan diam saja ketika Papa ngelarang kamu sewaktu om Ammar menelepon saat kita makan malam. Masih ingat, 'kan?"

Winter menganggukkan kepalanya. Saat itu ia, Summer, dan Zavier tengah makan malam dan satu telepon dari Ammar kembali datang memberi informasi yang sama seperti telepon-telepon sebelumnya, yaitu mengenai penyakit Aleta.

"Winter."

"Iya, Pa?"

Zavier menghela napasnya terlebih dahulu. "Papa mau minta satu hal sama kamu."

Winter in LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang