25. Satu Masalah Lagi

106 23 11
                                    

-Selamat Membaca-

Cinta dan takhta kerap kali menjadi faktor utama jarak menyela tiap netra. Membuatnya lupa bahwa semesta tak selamanya ada. Baskara dan angkasa tak selalu dapat terjumpa. Usia dengan waktu mana mampu diterka. Kapan jarak itu akan berakhir, si pencipta selalah yang tahu jawabannya.

Memilih peduli atau tetap berdikari?

***

Terlahir dari keluarga yang berada tak selalu menjamin hidup akan sejahtera. Di saat saudara-saudara yang ia punya tinggal di tengah kota, Arayyan justru terjebak di sebuah kampung pinggiran kota. Terjepit di antara gedung-gedung pencakar langit.

Winter dan Althaf melangkah beriringan di jalan sempit yang becek. Terdapat sampah plastik di mana-mana. Menyempil di tengah-tengah rumah kayu yang berderet tak menentu. Namun, bukan itu yang menjadi fokus Winter saat ini. Gadis yang mengenakan hoodie cokelat moka itu mengingat dengan sangat jelas apa yang diucapkan Shamora di rumah sakit saat itu.

"Kalau begitu aku juga enggak akan berdamai dengan Aleta selama Kak Ammar dan kak Arayyan belum kembali seperti sedia kala."

Tekad Winter kali ini adalah memperbaiki hubungan kedua omnya terlebih dahulu, sehingga mamanya tak akan memiliki alasan lagi untuk mengelak berbaikan dengan Aleta.

"Om Arayyan itu anak sulung di keluarga mama. Urutannya gini, om Arayyan, om Ammar, mama, dan terakhir tante Aleta," ujar Winter mulai bercerita. "Jika mama sama tante Aleta enggak bisa damai karena masalah cinta dan kesalahpahaman di masa lalu. Lain halnya dengan om Arayyan dan om Ammar."

Althaf diam mendengarkan.

"Aku enggak tahu secara jelas, sih, tapi singkatnya dulu sewaktu remaja, om Arayyan itu murid yang nakal. Istilah sekarangnya, bad boy. Bolos sekolah, keluar malam, jarang pulang. Itu udah menjadi kebiasaan om Arayyan."

"Dan om Ammar adalah good boy?" tebak Althaf membuat Winter terkekeh. Penuturan pemuda itu tepat sasaran.

Winter menarik kedua sudut bibirnya. "Om Ammar itu seperti sosok cowok idaman. Cerdas, rajin, disiplin, terkenal karena sisi baiknya, pokoknya bertolak belakang sama om Arayyan."

"Kayak gue, dong, Win?" Satu alis hitam dinaikkan seolah mendukung wajah konyol Althaf.

Winter mengedikkan kedua bahunya. Malas membahas apa yang Althaf ucapkan. Usai mendengar pernyataan Divelia di sekolah hari itu, Winter berusaha meminimalisasi segala bentuk interaksinya dengan Althaf. Misalnya, tak akan larut dengan candaan yang dibuat oleh Althaf. Gadis itu masih memikirkan perasaan Mauza pada pemuda tersebut. Winter merasa tak tahu diri jika ia memaksakan perasaannya sendiri. Selagi masih bibit-bibit kecil, ia akan berusaha mematikan perasaannya. Mungkin tak akan semudah yang ia bayangkan, tetapi ia yakin ia pasti bisa melakukannya.

Gadis berambut keriting panjang itu juga awalnya ingin menjalankan rencana ini bersama Summer. Akan tetapi, lagi-lagi tugas kuliah mengambil alih kakak laki-lakinya itu. Yang membuat Winter tambah sebal adalah Summer memerintah Althaf untuk menemaninya. Tidak salah Summer juga sebenarnya, karena pemuda itu tak mengetahui apa yang ia rasa. Winter juga tidak berminat untuk memberi tahu mengenai hal itu.

"Dua kebiasaan yang saling bertolak belakang itu ternyata bertahan sampai keduanya dewasa. Om Arayyan masih pada sikap buruknya, begitu juga dengan om Ammar yang tetap pada sikap baiknya. Dan yang dipilih kakek saat itu untuk jadi penerus bisnis beliau adalah om Ammar. Enggak sepenuhnya juga, sih, karena sejak mama menyelesaikan pendidikannya, mama juga turut membantu om Ammar," terang Winter menjelaskan.

Winter in LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang