31. Buku puisi💌

1.6K 184 74
                                    

"Masih pagi udah cemberut aja."

Helen menghentikan langkahnya saat ada laki-laki yang berbicara seperti itu. Saat ini Helen berada di parkiran, karena sibuk melamun ia sampai tidak tahu jika Mahen sedang duduk di motor sambil terus memandanginya.

Helen menoleh, lalu tersenyum canggung. "Heheh, ya kali gue harus senyum-senyum. Ntar dikira orang, gue gila."

Mahen terkekeh kecil. "Oh, iya, Hel. Jangan dateng lagi ke markas Fascia ya, di sana bahaya. Apalagi lo kesananya sama cewek-cewek."

Helen mengangkat kedua alisnya. Ia teringat omongan Jordan kemarin. Jordan juga mengatakan hal yang sama. "Kemarin Jordan bilang kaya gitu juga, katanya kalo gue kesana bos dia bakal marah. Emm.. bos yang dimaksud sama Jordan itu lo bukan?"

"Kenapa emangnya?"

Helen menunduk, menatap sepatu sekolahnya, sesekali ia menendang-nendang batu kecil yang ada di dekat sepatunya. "Kalo gue nanya tentang geng Fascia, lo bakal jawab gak?"

Mahen tersenyum lalu mengedikkan kedua bahunya. "Tergantung pertanyaannya."

Helen mendongak lalu tersenyum senang. Otaknya berpikir keras akan menanyakan apa, ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. "Ketua geng Fascia, masih sekolah?"

"Iya. Semuanya juga masih pada sekolah," jawab Mahen.

Helen berpikir kembali sambil menggaruk pipinya yang tak gatal. "Ketua geng Fascia lagi gebet seseorang gak?"

Mahen terdiam sejenak lalu ia beranjak dari motor dan berdiri di depan Helen. "Dari pada nanya-nanya yang gak penting, ke kelas aja yu. Bentar lagi masuk lho."

Helen menghela napas kasar, ia menatap Mahen dengan wajah memelas. "Tapi itu penting buat gue. Kenapa lo gak mau kasih tau tentang geng Fascia?" Jeda sejenak, "Geng Fascia tertutup ya?"

"Iya. Cuma lo, kedua temen lo, dan pastinya warga sekitar sana yang tau adanya geng Fascia," jawab Mahen.

"Berarti geng Fascia gak punya musuh?" tanya Helen dengan antusias.

Mahen menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak dong. Kita bikin geng bukan buat nyari musuh."

"Terus?"

"Ada deh," jawab Mahen. Ia tertawa saat melihat Helen merengut kesal. "Sekarang giliran gue yang nanya."

Helen mengangguk sambil tersenyum. "Oke, oke. Apa?"

Mahen menggigit pipi bagian dalamnya sambil bersedekap dada. "Kenapa lo kepo banget tentang geng Fascia?"

Kedua alis Helen refleks terangkat. Matanya mengerling ke kanan dan ke kiri sembari berpikir. "Emm.. karna, karna.. kar-"

"Oke, gak papa gak usah dijawab." Jeda sejenak, "Tapi ada satu hal yang harus lo tau."

"Apa?"

"Lo gak boleh cari tau lagi tentang geng Fascia."

Helen mengerutkan dahinya bingung. "Kenapa?"

Mahen menatap ke sekitar yang sudah banyak murid berdatangan, bahkan ada juga yang menatap mereka berdua dengan tatapan yang berbeda-beda. Ia menatap kembali perempuan yang ada di depannya sambil tersenyum manis. "Kalo lo berurusan terus sama geng Fascia, bisa-bisa lo terpesona sama mereka, geng Fascia kan ganteng-ganteng semua."

Helen mendelik kesal, ia kira alasannya yang masuk akal gitu. "Kalo itu doang mah tenang aja. Gue gak akan terpesona sama geng Fascia."

"Yakin?"

"Yakin kok," jawab Helen cepat. Walaupun sebenarnya ia tidak yakin, memang benar, geng Fascia itu ganteng-ganteng semua.

"Gue serius, Hel. Lo gak boleh cari tau lagi tentang geng Fascia. Pokoknya gak boleh."

Mr. Bandana [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang