Extra Part 3

161 10 8
                                    

Selama lima tahun bersama Faqih, sudah banyak kebahagiaan yang Ara dapatkan. Cita-cita yang pernah ia impikan, sudah berhasil ia wujudkan. Mimpi untuk menjadi seorang penulis, menuliskan segala kisah hidupnya menjadi sebuah buku.

Dan, karena profesinya inilah, malam-malam harinya Ara sering bergadang untuk menyelesaikan naskah. Faqih sih, awalnya oke-oke saja, tapi hatinya cemburu, karena waktu untuk bermesraan jadi berkurang.

"Kamu gak capek apa, ngetik depan laptop terus? Aku aja yang liatnya capek loh." Faqih mengode Ara dengan halus. Ia duduk bersila di atas tempat tidur.

Tanpa mengalihkan pandangan dari depan layar menyala itu, Ara tersenyum. "Kamu kalo bosen, tidur aja duluan. Aku gak apa kok."

Kebiasaan. Ara masih saja tidak mengerti kode-kode seperti ini. Faqih menipiskan bibirnya, sembari menatap istrinya lurus.

"Sayang, aku laper nih."

Lagi, Faqih mencoba lagi. Barang kali, Ara akan mengalihkan pandangan kearahnya dan mengacuhkannya.

"Di dapur masih ada makanan. Kamu cari aja ya. Di kulkas juga ada banyak," jawab Ara tanpa menoleh.

"Oh ya, kalo mau dipanasin, masukin aja ke microwave."

Faqih cemberut. Lagi-lagi dirinya diabaikan. "Tapi aku maunya mie instan. Masakin dong."

"Mie instan itu gak baik. Kamu hari ini udah dua kali loh makan mie instan. Yang lain aja yang ada di dapur." Ara mengomel, masih tetap setia menatap layar di hadapannya.

Dengan wajah cemberut, Faqih turun dari atas tempat tidur, berjalan keluar menuju dapur. Jadi, istrinya itu lebih memilih layar komputer dan naskahnya daripada dirinya. Hm, oke.

Setelah pintu ditutup dengan sedikit keras oleh Faqih, Ara menolehkan kepalanya ke belakang. Dia mengerti sekarang. Lantas, Ara cepat-cepat ke dapur pula.

Di sana, suaminya sedang berjongkok mencari makanan di dalam kulkas. Ara kira tadi, Faqih hanya sedang berbohong, ternyata dia benar-benar lapar.

"Kamu tadi mau makan mie kan? Jadi apa enggak?" tanya Ara lembut, sembari tangannya menggapai laci atas, mengambil dua bungkus mie instan.

"Kamu mau masakin?"

Faqih langsung berdiri dan menutup pintu kulkas, tanpa mengambil apa-apa. Ara pun berbalik dan mengangguk.

"Iya. Sekalian aku juga mau bikin."

"Tadi katanya gak baik."

"Ya, kalo makannya sama-sama sama kamu, ada pengecualian."

Faqih mengangguk saja, karena perutnya sudah lapar. Senyum tipis muncul di wajah tampannya. Rasa cemburunya lenyap.

Ara mulai memanaskan air dan berkutat di depan kompor, sementara Faqih hanya menjadi penonton. Menyaksikan dari belakang, betapa cekatannya Ara jika sedang di dapur.

Tiba-tiba, Faqih memeluk Ara dari belakang. Menciptakan sebuah kejutan kecil.

"Kamu kebiasaan deh. Nanti kalo ada yang liat gimana? Kita ada di dapur loh ini."

Ara masih sama. Takut jika kemesraannya terlihat oleh orang lain. Tabu baginya. Padahal, jam sudah lewat dari tengah malam.

"Kamu kenapa sih? Gak apa-apa Ra. Semua udah pada tidur," jawab Faqih meyakinkan.

"Yaudah kalo gitu."

"Yaudah kalo gitu apa?"

Sambil malu-malu, Ara menjawab, "Ya gak apa-apa."

"Ya Allah, kamu bener-bener bikin gemesh tau nggak sih. Ulu ulu, makin sayang aku."

Antara geli dan ngeri mendengarnya. Faqih menjadi sangat absurd seperti ini. Mungkin teman-temannya menjadi faktor paling berpengaruh.

"Ini udah mateng. Sana kamu duduk. Aku gak bisa puter badan kalo kamu peluk kayak gini," usir Ara.

Bukannya menjauh, Faqih justru menaruh kepalanya semakin dekat di leher Ara. Hingga nafasnya, bisa dirasakan oleh perempuan itu.

"Kalo aku gak jadi makan mi tapi maunya kamu aja gimana?" bisiknya, tepat di depan telinga Ara.

Dan, yang terjadi setelah itu adalah ....

"Ara, Faqih, kalian ngapain di sini?"

Dengan gerakan seperti efek film, slow motion, Faqih dan Ara menolehkan kepalanya. Duh, ada mama mertua. Tadi Faqih bilang semua sudah tidur.

Dengan cepat, Ara melepaskan tangan Faqih di perutnya. Salah tingkah, juga malu. Tuh kan, apa tadi dia bilang.

Dengan wajah tanpa dosanya, Faqih membentang sedikit jarak. "Mama ngapain di sini? Kok belum tidur?" tanyanya asal.

"Kamu tuh. Mama mau ambil minum. Kalian ini, kenapa malam-malam masih di dapur? Masak mie?"

"Ini ma, Faqih ngeluh katanya laper, trus minta masakin mie," jawab Ara sejujurnya. Tapi justru, mamanya tersenyum.

"Yaudah. Mama cuma mau ambil minum kok. Tapi, jangan di ulangin lagi loh ya."

Setelah mengatakannya, Aliyah kembali ke kamarnya dengan gelas terisi penuh.

Wajah Ara memerah, malu. Haduh, ini gara-gara Faqih.

"Ih, kamu sih. Tadi kan aku bilang nanti ada yang liat."

Ara kembali mengomel. Tapi Faqih, justru malah menatapnya lama. Menciptkan rasa panas dan geli yang menjalar pipi Ara.

"Oke-oke ini yang terakhir di sini," kata Faqih.

"Apa?"

Tanpa menjawab dengan bicara, pemuda itu langsung maju. Meshapus jarak hingga tak bersisa. Mengabaikan mie dalam mangkuk yang mulai dingin dan semakin mengembang.

"Ayo kita makan, aku laper loh."

"Suapin ya Ra."

"Iya. Apa kamu tadi cemburu sama kerjaan aku?"

"Enggak."

"Beneran?"

"Iya Ra ...."

Mata Ara menyipit, menyelidik, hingga membuat Faqih berdecak.

"Iya, aku tuh cemburu. Kamu lebih seneng ngabisin malem sama naskah kamu dari pada aku. Padahal pagi sama siangnya, kamu diambil sama anak-anak," akunya manja.

"Hm, sudah kuduga."

Setelah mengatakannya, Ara tertawa. Pengakuan suaminya yang lebih terdengar seperti seorang anak kecil merajuk.

Faqih & Ara [COMPLETE]Where stories live. Discover now