Dua Belas

81 16 8
                                    

Malam sudah semakin larut, namun Ara masih belum mau untuk pulang. Ia masih berdiam diri di sebuah masjid. Duduk di sudut paling belakang shaf para perempuan. Menyembunyikan diri dengan menunduk dan membaca tiap huruf hijaiyah yang berbaris rapi dan saling menyambung, dengan lirih. Mentaddaburi ayat-ayatnya hingga air matanya lolos begitu saja.

Lagi, dia teringat ibunya. Bagaimana bisa dia berlaku durhaka seperti ini. Seharusnya dia tidak seperti ini.

Ara menangis, hingga bahunya naik turun, sesenggukan.

Dia tidak sepatutnya bersikap seperti ini kepada satu-satunya orang yang dia miliki. Siapa lagi yang dirinya punyai selain wanita itu?

Ara berucap istighfar berulang kali dengan lirih. Meminta ampun kepada Sang Pencipta Langit dan Bumi.

Segera, Ara lafalkan do'a penutup. Memeluk erat mushaf itu, lalu mengelap airmatanya secara kasar.

"Harusnya, aku izin dulu. Gimana kalo ibu khawatir dan nyariin aku?" Monolognya pada diri sendiri.

Cepat-cepat diletakkannya Al-Qur'an tadi serta mukena yang dikenakannya ke dalam lemari. Setelah itupun ia bergegas pergi.

Terlalu rindu menjadi seseorang yang disayangi oleh orangtuanya, tanpa sadar membuat Ara bersikap seperti ini. Seolah, dirinya telah ditunggu, dicari, serta dikhawatirkan. Padahal nyatanya, hidupnya tidak sebegitu berarti. Tidak satupun yang peduli padanya, bahkan sesosok yang di sebutnya sebagai ibu sekalipun.

Ara berjalan cepat menyusuri jalanan sepi dengan senyum mengembang. Seolah lupa dengan keburukan sebelum-sebelumnya yang terjadi padanya.

Ah tidak, apa dia gila?
Tidak, tidak.

Ara menghembuskan nafasnya seraya menutup mata. Dia harus bersiap untuk segala resiko yang akan dihadapinya di dalam. Meyakinkan diri, lalu memutat knop pintu secara perlahan.

"Assalamu'alaikum..."

Lidia melirik Ara dengan tajam. Seperti mata anak panah yang siap melesat.

"Dari mana kamu?" Tanya Lidia.

Ara mengernyit heran. Ada apa barusan?

Ara gugup. "Da-dari masjid bu. Ma-maafin Ara, karna pergi dari pagi dan gak pamit dulu..." jawabnya lirih dengan kepala tertunduk takut.

"Hm... yaudah. Sana masuk," usir Lidia,namun tidak sekasar biasanya.

Lagi, Ara kembali mengernyit dalam. Dalam hatinya dia merapal 'Alhamdulillah' berkali-kali. Atmosfer di dalam rumah seolah menghangat. Ara tersenyum tipis dan mengangguk. Berlalu, menuju ke kamarnya. Menyisakan Lidia yang duduk di sofa, sambil tersenyum miring.

Ara memasuki kamarnya dan langsung menutup pintunya tanpa melihat-lihat. Karena terlalu asyik memikirkan perubahan ibunya, Ara tidak memperhatikan dengan benar. Baru beberapa langkah menjauh dari pintu, tiba-tiba pendengarannya menangkap suara pintu dikunci.

Gadis itu terdiam di tempat, memikirkan apa yang sedang terjadi disini. Ia berbalik cepat dan langsung terbelalak. Napasnya tercekat. Panik. Ara benar-benar panik.

Seorang pria bertubuh tinggi tegap, berdiri membelakangi pintu seraya memainkan kunci kamar Ara dengan di ayun-ayunkan di udara. Tersenyum dengan penuh arti.

Ara tertunduk ketakutan. Menelan salivanya susah payah.

Pria itu bersandar pada pintu. Menatap Ara dari atas ke bawah berulang kali. Memberikan senyuman paling menjijikkan yang Ara tau.

Faqih & Ara [COMPLETE]Where stories live. Discover now