Tiga

187 28 3
                                    

Kalau ada yg perlu dibenahi, komen aja gpp (:

***

"A-a-asalamu'alaikum...."

Hening.

Tidak ada sahutan apapun yang sampai ditelinga Ara, ketika kakinya menapak di batas ambang pintu. Dengan ragu, tangannya meraih gagang pintu itu.

Tubuhnya gemetaran dan berkeringat. Memikirkan dirinya yang seharusnya belum berada di depan pintu ini sekarang.

Arloji jeleknya baru menunjukkan pukul setengah 2 siang, dan masih tersisa 8-10 jam lagi dari waktu seharusnya dia pulang.

Tiba-tiba tangannya memegangi kepalanya, ketika kejadian itu berputar lagi dalam ingatannya. Rasanya seperti nyata, bahkan dia masih merasakan rasa sakitnya serta aroma anyir darah yang mengalir dari pelipisnya waktu itu. Tangannya turun, matanta... melihat darah melumuri jari-jari tangannya.

Ara pun menggeleng cepat.
Kerongkongannya terasa kering, bingung apa yang akan dia katakan nanti. Tapi sepertinya apa yang akan dikatakannya nanti tidak akan membawa dampak baik. Biasanya juga selalu seperti itu.

Ara gelisah ditempatnya. Mencoba untuk memperkirakan apa yang akan menimpanya nanti.

Pintu dihadapannya tak kunjung terbuka. Ada rasa takut dan cemas yang mengerayap di benaknya, namun juga sedikit lega sekaligus kecewa. Ara mencoba membuka knop pintu perlahan. Terkunci. Dia menghela nafas perlahan, tersirat kekecewaan di wajahnya.

Mencoba tersenyum untuk menguatkan hatinya. "Apa aku nggak berhak pulang?" gumamnya. Menatap pintu kayu berwarna coklat dihadapannya sendu.

Ara lantas berbalik, berjalan tak tentu arah dengan seragam lengkap yang masih melekat di tubuhnya dan tas punggung yang ia cangking, menjauhi rumah bercat putih kotor itu.

Memangnya siapa yang akan mempedulikannya. Tidak ada.

Dia menyeka bulir air yang hampir jatuh dari matanya menggunakan telunjuknya. Lalu tatapannya tertuju pada sebuah masjid yang lumayan besar di pingir jalan raya, yang lumayan jauh dari tempatnya berdiri.

Ara pikir, jika sebaiknya dia singgah terlebih dahulu disana, menenangkan hati dengan mendekat kepada Sang Illahi. Setelah itu, barulah dia akan mencari pekerjaan paruh waktu kembali.

Setelah selesai berwudhu, ia menunaikan sholat sunnah tahiyatul masjid 2 rakaat. Setelah selesai, dia mengambil mushaf dan duduk didekat tembok di balik sekat pembatas antara laki-laki dan perempuan. Hingga tenggelam dalam ayat-ayat indah milik Sang Pencipta.

***

"Iya Halo."

"Lo dimana? Lama bener elah," sembur Ragil di seberang telepon.

"Ya bodo. Bilangin yang lain, 20 menit gue nyusul."

Tut

Sambungan telepon diputus sepihak oleh Faqih tanpa mau mendengar jawaban dari lawannya ditelepon.

10 menit kemudian...

Setelah selesai menunaikan kewajibannya yang nyaris terlewat, dia segera bergegas pergi. Tidak ingin jika teman-temannya menunggu lebih lama. Setidaknya ia harus tiba disana dalam waktu yang tidak sampai 10 menit.

Drrrtt

Ponsel di sakunya kembali bergetar menandakan ada panggilan masuk. Tanpa melihat panggilannya pun Faqih tau siapa yang menelponnya. Benda pipih itu dibiarkannya di dalam saku, terus bergetar dan menyala.

Faqih melajukan motornya dengan gila-gilaan, melesat dengan lihainya, mendahului kendaaraan-kendaraan besar, guna memangkas waktu tempuhnya.

***

Faqih & Ara [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang