Dua

234 35 0
                                    

Kalau ada yg perlu dibenahi, komen aja gpp (:

***

Kata sebagian banyak orang, sekolah itu menyenangkan. Masa remaja yang paling indah itu adalah masa-masa SMA. Tapi tidak baginya. Dia berada di sini hanya sebagai 'pelarian' semata. Meskipun tidak ada rasa yang berubah maupun pikiran yang menenang.

“Jadi, apa ada yang bisa jelaskan ini?” Bu Eni bertanya. Gadis yang duduk di bangku barisan ke empat itu tahu jawabannya dan dengan segera mengangkat tangan.

Namun, guru tersebut justru memalingkan wajahnya seolah tidak melihat apa-apa, lalu menunjuk siswa lain.

“Ya, Lia, coba kamu jelaskan.”

Ara biasa saja. Ia sudah terlampau sering menerima hal-hal seperti ini. Tidak dilihat atau bahkan keberadaannya dianggap antara ada dan tiada sekalipun. Gadis itu sangat terbiasa merasakan kepahitan semacam ini.

Merasa jika ada yang menggenggam tangan kirinya erat, dia menoleh dan mendapati teman sebangku sekaligus sahabatnya, Risa, tengah tersenyum ke arahnya. “Sabar, mungkin Bu Eni gak liat ...” bisiknya.

Ara hanya tersenyum, sebagai jawaban bahwa ia baik-baik saja. Untuk apa dia bersedih pada hal sekecil ini?

Jika saja, sekolah itu tidak penting, mungkin dia akan berhenti dari lama dan bekerja, atau bahkan memilih untuk tidak pernah mengalaminya sama sekali.

Bel pergantian jam berbunyi, Ara menghela nafas lelah. Lelah selalu memakai topeng agar terlihat baik-baik saja.

Ara hendak beranjak, namun suara Risa menundanya.

“Lo mau kemana Ra?”

“Izinin aku ya, terserah kamu mau izinin apa Ris. Yang jelas gak sebentar," kata Ara.

“Mau kemana emang?”

“Mm…” Ara hanya bergumam.

“Tumben, biasanya lo gak pernah kayak gini. Apalagi bolos.”

Iya benar. Dirinya tak pernah melakukan ini sebelumnya. Berbohong? Apa ia termasuk berbohong?

“A-aku gak enak badan, Ris,” ujarnya beralasan. Tidak sepenuhnya berbohong.

Risa mengghela napasnya dan tersenyum. Ia mengerti. Sangat mengerti bagaimana keadaan sahabatnya ini. Lantas ia mengangguk.

“Yaudah, nanti gue izinin sakit ya?”

Ara tersenyum dan mengangguk. “Iya, makasih,” jawabnya.

“Ke UKS ya, nanti aku susul.”

Ara menggeleng cepat. Ia ingin sendiri. “Gak usah nyusul Ris. Aku gak apa kok,” tolaknya.

“Yaudah.”

Bolos sekali tidak langsung membuatnya di drop out bukan?

Fisik bisa dilihat, tapi batin dan hatinya… tidak ada manusia yang tahu, seberapa besar dan dalam luka yang disimpannya.

***

Sesampainya di perpustakaan, Ara langsung masuk, keadaan pun sepi dan tenang. Namanya juga perpustakaan pastilah sepi, siapa lagi yang senang berada disini? Menghabiskan waktu istirahat yang cukup lama dengan berdiam diri, selain para kutu buku dan juga…  makhluk yang terasing seperti dirinya.

Menjelajahi rak demi rak yang tersusun rapi ini, mencari buku apa yang kiranya bisa membantunya menyibukkan diri.

Ketemu. Sebuah novel dengan judul yang sangat menarik perhatiannya. Membuatnya tergerak untuk mengambil dan membacanya. Ia pun memilih tempat, lalu duduk dan segera terhanyut dalam setiap kalimat yang tertulis disana.

Faqih & Ara [COMPLETE]Where stories live. Discover now